TITIAN SALAF

"Syiarkan Sunnah, Kikis Bid'ah". Mencukupkan Diri Dengan Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam Dengan Mengikuti Pemahaman Generasi Terbaik Para Sahabat Radhiyallahu’anhum

Breaking

Senin, 28 Oktober 2019

Senin, Oktober 28, 2019

O Syi'ah yang Cerdas: Apakah Kalian Menikahkan Putri-Putrimu Dengan Musuh-Musuhmu Yang Keji



Syiah percaya bahwa kekhalifahan merupakan posisi tertinggi yang ditentukan Allah untuk Ali Radhiyallahu ‘anhu, dan Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu ‘anhum merupakan pemberontak yang mengambil dengan paksa dari Ali Radhiyallahu ‘anhu posisi penting ini. Itulah kenapa Syiah menuduh khalifah-khalifah ini dan para sahabat sebagai pemberontak dan mencaci maki mereka siang dan malam.

Tapi kenyataan dan melalui sejarah kita ketahui kebalikan dari klaim tersebut; bahkan di dalam buku-buku syiah sendiri. Kita ketahui bahwa keluarga Rasulullah dan para sahabat merupakan keluarga dengan ikatan pernikahan yang kuat; dan kita punya banyak contoh pernikahan antara keluarga Rasulullah dan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum.

Sebaliknya , kita tidak menemukan adanya catatan dimana salah seorang dari Imam-Imam (Ali dan putra-putranya Radhiyallahu ‘anhum) menikahkan putri-putri mereka dengan Syiah ataupun mereka  menikahi putri-putri mereka yang mengakui diri mereka Syiah.

Kitab-kitab Syiah menghormati murid-murid yang sangat dekat dengan para Imam seperti Zurarah, Jabir AlJuafi dan yang lainnya yang menyampaikan ratusan riwayat dari Muhammad Al-Baqir (Imam ke-5 Syiah) atau Jafar As Sadiq (Imam ke-6 Syiah); jadi kenapa kita tidak menemukan imam-imam tersebut menikahkan putri-putri mereka kepada pengikut-pengikut yang tulus dan serius tersebut; melainkan kita dapati mereka memilih menikahkan putri-putri mereka kepada para sahabat dan anak-anak para sahabat. Kenapa demikian?

Ya, ini karena mereka semua memiliki kesamaan iman dan mereka berada di atas Sunnah sama seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan sahabat-sahabat yang lainnya Radhiyallahu ‘anhum.
Oh Syiah yang cerdas, jika kalian tetap menganggap bahwa para sahabat adalah pembangkang dan pengkhianat, silakan  perhatikan baik-baik dan dengarkan dengan sungguh-sungguh apa yang akan saya sampaikan.

Putrimu tercinta adalah permata hatimu, apakah kamu menyerahkan atau menikahkannya pada seorang kafir atau pembunuh ibunya dan saudaranya?! Dan kamu terima memiliki seorang kafir sebagai bagian keluargamu? Akankah kamu menikahkan putrimu sendiri pada seorang kafir dan beralasan dengan mengatakan bahwa saya melakukan itu dalam rangka “Takiyah”, Saya tidak punya pilihan atau saya sangat lemah!!

Coba yakinkan kami, bagaimana kalian menjelaskan pernikahan Umar bin Khattab, Khalifah ke-2 dan musuh keji bagi Syiah, yang menikahi Ummu Kaltsum putri Ali dan Fatimah yang juga saudari dari Al-Hasan dan Al-Husein Radhiyallahu’anhum? Ketika Umar datang kepada Ali dan meminta untuk menikahi putrinya, Ali bersedia menerima pernikahan tersebut! Dan pernikahan ini diakui dalam kitab-kitab Syiah dan Sunni.

Catat, bahwa Umar punya dua orang anak , Zaid dan Ruqahiah dari Ummu Kaltsum putri Ali dan Fatimah Radhiyallahu anhuma. Demi Allah, sadar dan logislah wahai Syiah yang cerdas.
Oleh sebab itu Syiah mencoba memalsukan cerita tentang pernikahan ini. Alkulani menyebutkan dalam kitabnya “AlKafi 5/336” – dimana buku ini merupakan sumber pokok Syiah-, mengenai pernikahan Umar dengan Ummu Kaltsum, maka Jafar As-Sadiq Radhiyallahu’anhu mengatakan ذلك فرج غصبناه
“ Ini merupakan farji (bagian tubuh wanita – red) yang diambil dengan paksa dari kami”!!
Apakah masuk akal bahwa putri Ali Radhiyallahu’anhu diambil dengan paksa dan dia tidak bertidak untuk mempertahankannya?! Seorang laki-laki, yang merupakan contoh teladan yang kuat dan berani, berdiri tak berdaya dan menyerahkan putrinya kepada musuhnya yang jahat yang juga merupakan pembunuh ibunya – seperti yang diklaim Syiah!

Wahai Syiah!!, Apakah hukumnya menikahkan seorang wanita muslim dengan seorang Kafir? Beginikah kalian menggambarkan segala kelemahan pada Ali Radhiyallahu’anhu? Sedangkan kita mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan Barangsiapa terbunuh karena mempertahankan keluarganya, maka ia Syahid.

Dan kalian mengklaim bahwa imam-imam kalian mengatur dan mengontrol segala sesuatu di alam semesta ini; dan menyematkan pada mereka pensifatan-pensifatan yang sama dengan sifat-sifat Allah. Jadi, kenapa sifat-sifat yang agung dan kemampuan yang luar biasa ini tidak mampu mempertahankan permata hati mereka.?! Apakah manusia biasa akan menikmati hidupnya sementara putri tercintanya diambil dengan paksa?!  Dengan begini kalian telah menganggap Ali Radhiyallahu’anhu, seorang panutan yang berani, sebagai seorang yang lemah, pengecut dan orang yang tidak punya kekuatan yang tidak mampu bahkan untuk menolak sekalipun dengan ucapan pelanggaran ini!! Sementara kalian menyebutkan dalam kitab-kitab hikayat kalian bahwa Umar takut terhadap Ali Radhiyallahu’anhu; dan Ali Radhiyallahu’anhu sangat kuat, bahwa suatu ketika Ali menghentakkan kakinya ke tanah dan bumi berguncang “Tafsir Al Burhan p. 74”; dalam buku “Iyuun Akhbar Arrida” Ibnu Babawaih AlKummi mengatakan bahwa Ali Radhiyallahu’anhu berkelahi dengan Iblis dan mengalahkannya (Iblis tsb – red) dengan kekuatannya yang luar biasa! Dan saya tidak tahu bagaimana kalian menjelaskan kontradiksi ini.

Dan apabila pernikahan Ummu Kaltsum dan Umar Radhiyallahu’anhum tidak cukup untuk meyakinkan, maka saya akan memaparkan pernikahan-pernikahan lainnya antara keluarga Rasulullah Shallallahu “Alaihi wa Sallam dengan para sahabat,  yang Syiah sebut murtad.
Pertama, kita mulai dengan kepala keluarga; Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi waSallam. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi waSallam karena cintanya pada sahabat-sahabat terdekatnya dan mengokohkan hubungan dengan mereka, Beliau Shalallahu ‘Alaihi waSallam menikahi putri-putri Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu’anhuma; Beliau Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi waSallam menikahi ‘Aisyah dan Hafsah Radhiyallahu’anhuma; dan menikahkan putri-putri beliau Ruqayah dan Ummu Kultsum to Ustman Radhiyallahu’anhu. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi waSallam meninggal sedangkan beliau ridha pada mereka semua.

Sekarang katakan pada saya, bagaimana kalian menjelaskan hal ini? Dan jangan katakan pada saya bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi waSallam tidak tahu bahwa mereka akan menjadi kafir dan Allah Azza WaJalla tidak memberitahu beliau. Karena kita mendapati dalam penjelasan kitab-kitab Syiah menjelaskan bahwa imam-imam mengetahui bahkan apa yang akan terjadi di masa depan; sehingga menurut akidah Syiah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi waSallam berhak tahu lebih banyak.

Kedua, putri-putri Ali Radhiyallahu’anhu; kita punya contoh lain disamping Ummu Kaltsum yang menikah dengan Umar Radhiyallahu’anhu; ada Ramlah binti Ali yang menikah dengan Muawiyah bin Marwan bin Al Hakam dari Bani Umayah. Ingat oh Syiah, kalian telah mencela Utsman karena menunjuk Marwan bin Al Hakam sebagai pemimpin pada salah satu Provinsi dalam kekuasaan Islam dan kita mendapati bahwa bahwa Ali Radhiyallahu’anhu menikahkan putrinya kepada anak Marwan. Sekarang bagaimana kalian menjelaskan ini?

Dan catat Ali Radhiyallahu’anhu mempunyai 20 orang putrid an 19 orang putra dan tidak satupun dari mereka menikahi Syiah. Apa artinya ini buat kami, Oh Syiah yang cerdas.

Ketiga, Al Hasan bin Ali Radhiyallahu’anhum, imam ke-2 Syiah, menikahi putri Talhah bin Ubaidillah Radhiyallahu’anhu.
Dua cucu perempuan dari putranya Umar yaitu:
1. Zainab menikah dengan Al Waleed bin Abdul Malik bin Marwan dari bani Umayah
2. Dan Ummu Al Kasim menikah dengan cucu Utsman bin Afaan, dan namanya yaitu Marwan bin Abaan bin Utsman yang juga dari bani Umayah.

Keempat, Al Husein bin Ali Radhiyallahu’anhum, Imam ke-3 Syiah menikahkan 2 orang putrinya kepada cucu Utsman bin Afaan,
1. Sukiynah menikah dengan Zayid bin Amr bin Utsman bin Afaan
2. Dan Fatimah menikah dengan saudaranya (saudara dari Zayid bin Amr bin Utsman bin Affaan-red) yaitu Abdullah bin Amr bin Utsman bin Afaan.

Dan ini adalah sedikit contoh kuatnya hubungan antara keluarga Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi waSallam dan para sahabat yang mengingkari klaim Syiah mengenai para sahabat.
Ikatan pernikahan yang kuat ini hanya bisa terjadi antara dua pihak yang saling mencintai, hormat dan berkasih sayang satu sama lain. Dan kisah-kisah yang dipalsukan Syiah untuk mengingkari hubungan pernikahan tersebut terbantahkan dengan jelas oleh sejarah bahkan kitab-kitab Syiah sendiri.

Dan catat bahwa Ali dan putra-putranya  Radhiyallahu’anhum setia bersama dan mendukung khalifah hampir 25 tahun selama kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman bahkan setelah khalifah-khalifah ini meninggal; inilah mengapa mereka tetap menamai anak-anak mereka dengan nama-nama khalifah-khalifah tersebut.

Wahai Syiah!! Selamatkan diri kalian dari penyimpangan ini sebelum tiada lagi kesempatan kembali (bertobat).

Semoga Allah Azza waJalla membimbing kita dan Syiah pada kebenaran.
Segala puji kepada Allah dan Semoga berkah dan rahmat Allah tercurah pada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi waSallam, keluarganya dan para sahabatnya.

Videonya dapat dilihat di link berikut:



Rabu, 23 Oktober 2019

Rabu, Oktober 23, 2019

Lokomotif Hidayah


Kebanyakan orang menemukan hidayah, tatkala hatinya sedang tunduk, remuk- redam dengan suatu musibah yang sedang menimpanya. Mematahkan semua kesombongannya, meluluh-lantakkan ketidakpeduliannya selama ini terhadap Allah dan syariat-Nya. Ketika ia sudah berada di atas jurang kehancuran, Allah tarik tangannya lalu Ia tuntun dengan kelembutan dan kasih sayang-Nya, seharusnya kehidupannya sudah hancur berkeping-keping, jiwanya berantakan, akan tetapi ia kembali kepada jalan Allah.
Kadangkala Allah timpakan kepadanya penyakit yang menyebabkan ia terbaring lemas, berbilang hari bahkan bulan ia di atas kasur putih setelah puluhan tahun ia melawan Allah dengan maksiat bermodalkan kesehatan yang ia sangka akan abadi untuk selamanya.
Kadangkala Allah menundukkan kesombongan dengan mencabut kekayaan yang ia merasa memiliki selama ini, kesadaran muncul setelah api besar membakar istananya dan menghanguskan segala kekayaan yang ia peroleh dengan bercucur keringat, sebagaimana dulu ia cucurkan keringat, hari ini ia juga ia telah cucurkan air mata.
Kadangkala Allah memaksanya untuk bersujud dan membaluri keningnya dengan tanah setelah ia kehilangan orang-orang yang ia cintai. Sudahkah anda pernah mendengar cerita seorang suami pedagang bensin, ketika sedang menuangkan bensin ke dalam tangki motor salah seorang pembeli, tiba-tiba jatuh puntung rokok ke dalam bensin tersebut, lalu membakar dirinya dan rumah beserta orang-orang yang ada di dalamnya, dari anak dan istri yang sangat ia cintai.
Kadangkala Allah memberi hidayah kepada seseorang, setelah ia terjerat dalam sebuah kasus korupsi, setelah ia merasakan sempitnya penjara dan perihnya kehilangan jabatan, ia tinggalkan dunia dan ia kembali kepada Allah...
Mereka-mereka itu adalah orang-orang beruntung, mereka menemukan jalan kembali, setelah diberi teguran oleh Dzat Maha Pencipta.
Ada lagi satu golongan orang yang jauh lebih mulia dari orang-orang di atas dalam perolehan hidayah, yaitu orang yang dihentikan perjalanannya oleh kerinduan kepada kebenaran. Seperti perjalanan ikan salmon melintasi sungai, menyeberangi lautan dan mengarungi samudera, melintasi benua. Telah bermil-mil perjalanan ia tempuh, telah habis pula kebanyakan umurnya dalam perjalanan jauh itu. Ketika sudah tiba masanya, ada rasa kerinduan memanggilnya untuk pulang ke tempat asalnya, sekalipun banyak aral yang merintangi kepulangannya, sekalipun arus deras yang akan ia hadapi, ia tetap bersikukuh untuk pulang, kembali ke fitrah sebagaimana ia dilahirkan oleh ibunya.
Khalid bin Walid, seorang ksatria tanpa tanding, panglima yang tidak terkalahkan, hamba Allah yang tawadhu' (rendah hati), pemilik jiwa besar. Semuanya tentu tahu apa yang pernah ia lakukan terhadap kaum muslimin di perang Uhud, dengan ketajaman pandangannya ia dapat merubah kekalahan menjadi kemenangan untuk Quraisy, sebagai kemenangan pertama dan terakhir bagi mereka. Hampir pada semua tempat di mana ia berada, dia memasang permusuhan terhadap Islam dan kaum muslimin. Sampai akhimya, keinginan untuk pulang itu begitu kuat, beberapa hari sebelum penaklukan Mekkah ia mengajak kawan karibnya 'Amr bin Ash berangkat menuju Madinah untuk menyatakan keislamannya.
Berangkatlah mereka dengan azam yang telah kuat di hati mereka, sebab mereka adalah para kesatria Quraisy. Setibanya di Madinah mereka utarakan keinginannya, ketika Rasulullah mengulurkan tangannya kepada Khalid, ia tarik kembali tangannya, lalu ia berucap, "Dengan syarat, wahai Nabi Allah! Agar Allah menghapuskan segala kesalahanku semasa Jahiliah". Rasulullah tersenyum dan berkata, "Apakah engkau belum tahu, wahai Khalid?!, Sesungguhnya Islam menghapuskan semua kesalahan sebelumnya".
Adapun Ikrimah bin Abu Jahal - ia salah satu pemuda Quraisy yang paling keras perlawanan dan permusuhannya kepada Nabi, setelah Mekkah dikuasai oleh Rasulullah, ia mencoba lari dari kenyataan, ia seberangi lautan, ia lintasi padang pasir dalam kesendiriannya, ia coba tinggal di negeri orang, ia coba menahan dirinya dari keinginan pulang kepada kebenaran. Telah ia coba, tapi panggilan itu begitu kuat, keinsafan menghinggapi hari-harinya, maka ia coba untuk melangkahkan kaki pulang menyatakan kelemahan diri dan mengantarkan kepasrahan jiwa.
Disebutkan oleh lbnu Hajar, "Ketika Ikrimah dalam pelariannya, ia sedang di atas bahtera, tiba-tiba datang badai, lalu orang-orang yang berada dalam bahtera itu berteriak, "Ikhlaskan niat kalian kepada Allah, sesungguhnya Tuhan (berhala) kalian tidak mendatangkan manfaat sedikitpun". Sampai badai tersebut menjadi tenang, lalu ia berkata, "YaAllah, jika keikhlasan yang menyelamatkanku di lautan, tentu Dia juga yang akan menyelamatkanku di daratan. Demi Allah, aku berjanji, jika aku selamat dari kejadian ini, aku akan mendatangi Muhammad -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- dan aku letakkan tanganku di atas tangannya".1
Ada suatu golongan dalam perolehan hidayah, mereka memperolehnya dengan proses pencarian yang cukup melelahkan, berpindah dari satu ajaran kepada ajaran lain, dari agama kepada agama lain, akhirnya dia memperoleh apa yang inginkan. Contoh yang tepat untuk golongan ini seperti Salman AI-Farisi dan Waraqah bin Naufal.
Yang lebih hebat lagi adalah golongan yang sudah dalam katagori mati, tidak ada harapan, tidak ada denyut kebenaran dalam hatinya, lalu rahmatAllah menda-huluinya, iapun memperoleh hidayah. Contoh dari golongan ini adalah Umar bin Khattab. Padanya diturunkan ayat dalam suratAl-An' am, Allah berfirman;

أوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا

"Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?". [QS. al-An'am:122]


Ini permisalan dari Allah terhadap seorang mukmin yang awal mula hatinya telah mati dalam kesesatan dan binasa dalam kebingungan, lalu Allah hidupkan dan segarkan kembali dengan iman dan Allah beri petunjuk untuk mengikuti rasulNya. Dia masukkan dirinya kepada agama penyerahan diri. Saat itu, ia telah mulai mengerti hal-hal yang bermanfaat dan jauh dari hal yang mudharat, berusaha untuk melepaskan diri dari kemurkaan, matanya mulai mengenal kebenaran yang sebelumnya ia buta, ia sudah mulai belajar yang sebelumnya ia tidak mengetahui, ia sudah mulai belajar untuk mengikuti, sampai ia memperoleh cahaya, dan dengan cahaya itu ia dapat menggunakannya untuk menerangi perjalanannya kepada Allah, di tengah kegelapan manusia. 2
("Untukmu Yang Berjiwa Hanif",hlm 24-28. Dedikasi dari Ust.Armen Halim Naro Rahimahullah)

Catatan kaki:
Al Ishabah 4/538
Lihat Tafsir Ibn Katsir (2/231), dan Ighastul Lahfan, Ibnul Qayyim hal. 26
Rabu, Oktober 23, 2019

Bahaya Bid’ah Lebih Besar Daripada Dugaan Kebaikannya


Secara umum generasi terdahulu merupakan generasi yang lebih baik daripada generasi kemudian. Sikap dan pendapat mereka sama sekali berbeda dengan golongan yang meninggalkan sunnah dan mengikuti bid'ah. Golongan yang mengikuti bid'ah berpendapat bahwa di dalam perbuatan-perbuatan bid'ah itu ada kebaikannya. Hal ini bertentangan dengan beberapa bahaya bid'ah yang sudah jelas, antara lain:
1.    Perbuatan bid'ah akan merusak aqidah dan amaliyah, maksudnya menjadikan hati rusak sehingga tidak lagi merasa perlu kepada sunnah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Bahkan ada orang yang rajin melakukan perbuatan-perbuatan bid'ah, tetapi tidak rajin melakukan pada perbuatan sunnah.
2.    Kalangan tertentu ada yang lebih mengutamakan perbuatan-perbuatan bid'ah daripada perbuatan-perbuatan yang wajib atau sunnah, sehingga keyakinan mereka terpengaruh oleh perbuatan bid'ah yang biasa dilakukan. Di antara mereka ada yang melakukan bid'ah dengan ikhlas dan penuh ketekunan, tetapi tidak demikian halnya ketika melaksanakan perbuatan yang wajib atau sunnah. Sehingga seolah-olah ia melaksanakan perbuatan bid'ah itu sebagai ibadah, sedangkan hal-hal yang wajib atau sunnah dianggapnya hanya sebagai adat kebiasaan. Hal semacam ini jelas bertentangan dengan agama. Dengan melakukan perbuatan bid'ah mereka akan terjerumus, sehingga tidak lagi melakukan hal-hal yang wajib atau sunnah, seperti beristighfar, memohon rahmat, thaharah, khusyu', memenuhi undangan, merasakan manisnya bermunajat dengan Allah dan perbuatan-perbuatan baik lainnya. Sekiranya mereka tidak terjerumus dalam perbuatan bid'ah, sudah tentu dia akan melakukan hal-hal wajib atau sunnah dengan sempurna. 

3.    Menjalankan hal-hal yang bid'ah dapat menimbulkan adanya anggapan bahwa yang ma'ruf itu mungkar dan yang mungkar itu ma'ruf. Dampaknya adalah sebagian besar manusia menjadi bodoh terhadap agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan tersebar luasnya benih-benih kejahilan. 

4.    Dapat menyebabkan timbulnya perbuatan-perbuatan yang dibenci syari'at, misalnya: menunda berbuka, menunda shalat 'Isya' sampai akhir waktu sehingga hatinya tidak khusyu' karena melakukannya dengan tergesa-gesa, melakukan sujud lagi sesudah salam padahal dia tidak lupa, membaca dzikir dan wirid yang tidak ada dasar atau dalilnya atau melakukan hal-hal buruk lainnya. Hal-hal semacam ini tidak akan disadari kecuali oleh orang yang hatinya bersih dan akalnya jernih. 

5.    Menyesatkan seseorang dari mengikuti Sunnah dan menyimpang dari jalan yang lurus. Hal ini karena dalam hatinya terjangkit sejenis penyakit sombong atau kibr, sehingga lebih senang menyimpang dari tuntunan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kapan pun ada peluang. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Abu 'Utsman An Naisaburi: "Seseorang tidak akan meninggalkan sunnah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam kecuali karena perasaan sombong dalam hatinya." (Tahqiqul Ashl, 2/212).

Perbuatan bid'ah ini kemudian menjadi sebab munculnya sifat-sifat buruk lainnya, sehingga tidak lagi bersungguh-sungguh dalam mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam Dengan demikian, hatinya menjadi congkak dan imannya menjadi lemah yang menyebabkan agamanya menjadi rusak atau hampir rusak, sebagaimana firman Allah pada surah Al Kahfi ayat 104:

الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya"
_________________________________________________________________________ 
** Dinukil dari buku: “Mukhtarat Min Kitab Iqtidha’ Ash Shiraatal Mustaqim” (edisi Indonesia: “Bahaya Mengekor Non Muslim) hlm 86-88

Senin, 14 Oktober 2019

Senin, Oktober 14, 2019

HADRAH: Benarkah Nabi Hadir di Tengah-Tengah Perayaan Maulid Nabi?



Soal:
Apakah benar Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam hidup di dalam kuburnya dan akan keluar menemui manusia dalam perayaan Maulid Nabi yang disebut dengan ḥaḍrah, sebagaimana yang diyakini oleh sebagian orang?
Jawab:
Ini adalah perkataan dan keyakinan bathil.
Imam yang empat, bahkan seluruh umat Islam sepakat bahwa para sahabat raḍiyallahu 'anhum tidak menguburkan Rasulullah ṣallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali setelah roh beliau meninggalkan jasadnya. Tidak masuk akal bila mereka menguburkan beliau dalam kondisi hidup. Dan karena itu para sahabat mengangkat seorang khalifah pengganti beliau sepeninggalnya, juga putri beliau, yaitu Fatimah raḍiyallahu 'anha menuntut bagian warisannya dari beliau. Tidak pernah ada cerita dari seorang sahabat, tabiin, ataupun generasi setelahnya seperti imam yang empat, bahwa Rasulullah ṣallallahu ‘alaihi wasallam keluar menemui manusia setelah beliau wafat dan dikuburkan. 
Barangsiapa mengklaim bahwa beliau ṣallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari kuburnya dan menemui manusia, maka dia telah berbohong dan dipermainkan oleh setan serta membuat-buat kedustaan atas nama Allah dan Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana tidak, sedangkan Allah Subhānahu wa Ta'ālā telah berfirman:
"Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sebelumnya telah berlalu beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)." (Āli Imrān: 144)
Dan firman Allah Ta'ālā:
"Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati, dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (AzZumar: 30)
Dalam ayat ini, Allah Subhānahu wa Ta'ālā menggandengkan berita kematian beliau dan kematian manusia lainnya agar jelas bahwa ini adalah kematian yang hakiki (sebenarnya) dan perpindahan dari alam dunia menuju alam barzakh, di mana orang yang telah masuk tidak akan keluar darinya kecuali menuju pelataran hari Kiamat untuk hisab dan pembalasan setelah dibangkitkan, dikumpulkan dan keluar dari kubur. 
Di antara bantahan yang tepat kepada orang-orang jahil dan para penganut khurafat yang meyakini Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam keluar dari kubur adalah apa yang diungkapkan Imam al-Qurthubi alMaliki (w. 656H) dalam karyanya Al-Mufhim tentang khurafat keluarnya Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dari kuburnya, “Rusaknya keyakinan ini dapat diketahui dengan logika sederhana. Keyakinan ini berkonsekuensi seseorang tidak melihat beliau kecuali dalam wujud asli beliau ketika wafat dan tidak mungkin dilihat oleh dua orang dalam satu waktu di dua tempat berbeda. Bahwa beliau sekarang masih hidup dan keluar dari kubur, berjalan di pasar, berbicara dengan manusia dan mereka pun berbicara dengannya; hal ini berkonsekuensi kubur beliau kosong dari jasadnya dan tidak ada sesuatu apa pun di kuburnya. Sehingga yang diziarahi hanya kubur kosong, dan ucapan salam diberikan kepada orang yang tidak ada. Karena bisa saja beliau dilihat di malam dan siang hari secara berturut-turut secara hakiki di luar kuburnya. Jelas ini adalah perkataan bodoh yang tidak akan diterima oleh orang yang paling bodoh sekalipun."
Dinukil dari buku:  عقيدة الأئمة الأربعة رحمهم الله “ (Akidah Empat Imam Rahimahumullah) hlm 103-105.

________________________________________________________________________________
Tentang Maulid Nabi silakan baca juga artikel: CINTA & MAULID NABI

Minggu, 13 Oktober 2019

Minggu, Oktober 13, 2019

Darah Keluar Lagi Setelah Bersih Dari Nifas


Syaikh Naasiruddin Al-Albaani Rahimahullaah ditanya.
Soal:

Seorang wanita yang habis melahirkan telah bersih dari nifas (darah telah berhenti), tetapi kembali mengeluarkan darah setelah  beberapa hari. Apakah darah tersebut dianggap sebagai darah istihadah (darah biasa) atau itu adalah darah yang lain?
Jawab:

Jika dia telah melewati waktu maksimum masa nifas yaitu empat puluh hari, maka tidak diragukan lagi bahwa darah tersebut adalah darah istihadah dan bukan darah nifas. Dan apabila menurut perkiraannya bahwa dia sudah bersih (dari nifas – pen) sebelum mencapai waktu empat puluh hari, maka besar kemungkinan perkiraannya telah bersih sebelum periode empat puluh hari adalah perkiraan yang salah darinya.  Jadi dia harus melihat darah yang sekarang keluar. Jika itu adalah darah yang lebih gelap, seperti umumnya darah menstruasi dan nifas, maka dia harus menganggap bahwa dirinya sebenarnya belum benar-benar bersih. Dalam hal ini, ia harus menahan diri dari shalat dan puasa serta ibadah lainnya lainnya yang terlarang dilakukan (ketika dalam keadaan nifas).
Al-Asaalah No. 15-16

Selasa, 08 Oktober 2019

Selasa, Oktober 08, 2019

GHULUW: Merusak Aqidah, Membahayakan Umat



Ghuluw atau sikap yang berlebih-lebihan dalam agama merupakan penyakit yang sangat berbahaya dalam sejarah agama-agama samawi (langit). Dengan sebab ghuluw, zaman yang penuh dengan tauhid berubah menjadi zaman yang penuh kesyirikan. Zaman yang penuh dengan tauhid kepada Allah berlangsung sejak zaman Nabi Adam sampai diutusnya Nuh 'alaihis salam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhu. (Jami'u al-Bayan juz 2 hal. 194. Ibnu Katsir menukilkan penshahihan al-Hakim pada Tafsir beliau juz 1 hal. 237)

Sejak zaman Nabi Nuh inilah syirik tumbuh dengan semarak, padahal kita ketahui bahwa syirik itu adalah dosa yang paling besar dalam bermaksiat kepada Allah. Dengan syirik itu pula akan terhapus pahala-pahala, diharamkan pelakunya masuk ke dalam surga dan dia akan kekal di dalam neraka. Dan pada zaman Nabi Nuh inilah awal mula kesyirikan terjadi.

Allah telah menerangkan dalam Kitab-Nya tentang ghuluw (sikap berlebihan di dalam mengagungkan, baik dengan perkataan maupun i'tiqad) kaum Nabi Nuh terhadap orang-orang shalih pendahulu mereka. Tatkala Nabi Nuh menyeru mereka siang dan malam, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi agar mereka hanya menyembah Rabb yang satu saja, dan menerangkan kepada mereka akibat-akibat bagi orang yang menentangnya. Tetapi peringatan tersebut tidaklah membuat mereka takut, bahkan menambah lari mereka dari jalan yang lurus, seraya mereka berkata:

وَقَالُوا لاَ تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمْ وَلاَ تَذَرُنَّ وَدًّا وَلاَ سُوَاعًا وَلاَ يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا. ﴿نوح: ٢۳

Dan mereka berkata: "Janganlah sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian, dan janganlah pula kalian meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan janganlah pula Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nashr." (Nuh: 23)
Di dalam Shahih Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, beliau berkata tentang firman Allah Subhanahu wa Ta'ala tersebut: "Mereka adalah orang-orang shalih di kalangan kaum Nabi Nuh, lalu ketika mereka wafat syaithan mewahyukan kepada mereka (kaum Nabi Nuh) agar meletakkan patung-patung mereka (orang-orang shalih tersebut) pada majlis-majlis tempat yang biasa mereka duduk dan memberikan nama patung-patung tersebut dengan nama-nama mereka, maka mereka pun melaksanakannya, namun pada saat itu belum disembah. Setelah mereka (generasi pertama tersebut) habis, dan telah terhapus ilmu-ilmu, barulah patung-patung itu disembah." (lihat Kitab Fathu al-Majid bab "Ma ja`a Anna Sababa Kufri Bani Adama wa Tarkihim Dienahum Huwal Ghuluw fis Shalihin")

Ibnu Jarir berkata: "Ibnu Khumaid berkata kepadaku, Mahran berkata kepadaku dari Sufyan dari Musa dari Muhammad bin Qais: "Bahwa Yaghuts, Ya'uq, dan Nasr adalah kaum yang shalih yang hidup di antara masa Nabi Adam dan Nabi Nuh alaihimus salam. Mereka mempunyai pengikut yang mencontoh mereka dan ketika mereka meninggal dunia, berkatalah teman-teman mereka: "Kalau kita menggambar rupa-rupa mereka, niscaya kita akan lebih khusyu' dalam beribadah." Maka akhirnya mereka pun menggambarnya. Ketika mereka (generasi pertama tersebut) meninggal dunia, datanglah generasi berikutnya. Lalu iblis membisikkan kepada mereka seraya berkata: "Sesungguhnya mereka (generasi pertama) tersebut telah menyembah mereka (orang- orang shalih tersebut), serta meminta hujan dengan perantaraan mereka. Maka akhirnya mereka pun menyembahnya." (Shahih Bukhari dalam kitab tafsir [4920] surat Nuh)

Perbuatan kaum Nabi Nuh yang menggambar rupa-rupa orang-orang shalih yang meninggal di kalangan mereka ini berdasarkan anggapan mereka yang baik dan gambar-gambar ini belum disembah. Tapi ketika ilmu terhapus dengan kewafatan para Ulama dan ditambah dengan merajalelanya kebodohan, maka inilah kesempatan bagi setan untuk menjerumuskan manusia kepada perbuatan syirik dengan cara ghuluw terhadap orang-orang shalih dan berlebih-lebihan dalam mencintai mereka.

Timbullah pertanyaan di dalam benak kita, apa sebetulnya tujuan kaum Nabi Nuh menggambar rupa-rupa orang-orang shalih tersebut? Berkata Imam al-Qurthubi: "Sesungguhnya mereka menggambar orang-orang shalih tersebut adalah agar mereka meniru dan mengenang amal- amal baik mereka, sehingga mereka bersemangat seperti semangat mereka (orang-orang yang shalih), dan mereka beribadah di sekitar kubur-kubur mereka.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Senantiasa syaithan membisikkan kepada para penyembah kuburan bahwa membuat bangunan di atas kubur serta beri'tikaf di atasnya adalah suatu realisasi kecintaan mereka kepada para Nabi dan orang-orang shalih, dan berdoa di sisinya adalah mustajab. Kemudian hal semacam ini meningkat kepada doa dan bersumpah kepada Allah dengan menyebut nama-nama mereka. Padahal keadaan Allah lebih agung dari hal tersebut.." (Lihat Fathul Majid bab Ma Ja'a Anna Sababa Kufri Bani Adama wa Tarkihim Dienahum Huwal Ghuluw fis Shalihin)

Perbuatan semacam ini merupakan suatu kesyirikan yang nyata disebabkan oleh sikap ghuluw mereka terhadap orang-orang shalih. Dan akibat dari perbuatan mereka ini ialah kemurkaan Allah atas mereka dengan menenggelamkan mereka dengan adzab-Nya sehingga tidak tertinggal seorang pun dari mereka termasuk anak dan istri beliau sendiri yang kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah berfirman di dalam ayat-Nya:

مِمَّا خَطِيئَاتِهِمْ أُغْرِقُوا فَأُدْخِلُوا نَارًا فَلَمْ يَجِدُوا لَهُمْ مِنْ دُونِ اللهِ أَنْصَارًا. وَقَالَ نُوحٌ رَبِّ لاَ تَذَرْ عَلَى الأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا. ﴿نوح: ٢٥- ٢٦

Dari sebab kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan kemudian dimasukkan ke neraka, maka mereka tidak mendapatkan seorang penolong pun selain Allah. Dan berkata Nuh: "Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun dari orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. (Nuh: 25-26)

As-Suddi berkata dalam menafsirkan ayat ini: "Allah mengabulkan doa Nabi Nuh, maka Allah memusnahkan semua orang-orang kafir yang ada di muka bumi termasuk anak beliau sendiri dikarenakan penentangannya kepada ayahnya." (Tafsir Ibnu Katsir tentang surah Nuh)

Maka demikianlah balasan bagi orang-orang yang ghuluw di masa kaum Nabi Nuh.

Sikap ghuluw ini terus terjadi dari zaman ke zaman dan masa ke masa sampai terjadi pula di masa Bani Israil. Kaum Yahudi yang menyatakan bahwa 'Uzair adalah anak Allah sebagaimana terjadi pula pada kaum Nashrani yang menyatakan bahwa al-Masih adalah anak Allah. Allah menjelaskan keadaan mereka di dalam ayat-Nya:

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ. ﴿التوبة:۳۰  ﴾۰


Dan orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah." Dan orang-orang Nashrani berkata: "Al- Masih itu putera Allah." Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut-mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu, dilaknati Allah-lah mereka. Bagaimana mereka sampai berpaling?" (at-Taubah: 30)

Adapun penyebab sikap ghuluw orang-orang Yahudi terhadap 'Uzair adalah karena mereka melihat dari mukjizat-mukjizat yang terjadi pada 'Uzair seperti penulisan kitab Taurat dengan hafalannya setelah Taurat dihapus dari dada-dada orang-orang Yahudi, serta keadaan 'Uzair yang hidup kembali setelah wafat seratus tahun lamanya. Lalu setelah akal mereka sempit untuk membedakan perbuatan dan kekuasaan Allah dengan kemampuan manusia yang terbatas, maka mereka menyandarkan hal tersebut kepada 'Uzair dan mereka menyatakan bahwa 'Uzair adalah anak Allah sebagaimana Ibnu Abbas menyatakan: "Sesungguhnya mereka (Orang-orang Yahudi) menyatakan demikian ('Uzair anak Allah) karena mereka tatkala mengamalkan suatu amal yang tidak benar, Allah menghapus Taurat dari dada-dada mereka. 'Uzair pun berdoa kepada Allah. Tatkala itu kembalilah Taurat yang sudah dihapus dari dada-dada mereka turun dari langit dan masuk ke dalam batin 'Uzair. Kemudian 'Uzair menyuruh kaumnya seraya berkata: "Allah telah memberi Taurat kepadaku." Maka serta merta mereka mereka menyatakan: "Tidaklah Taurat itu diberikan kecuali karena dia anak Allah." Sedangkan di dalam riwayat lain beliau berkata: "Bakhtanshar ketika menguasai Bani Israil telah menghancurkan Baitul Maqdis dan membunuh orang-orang yang membaca Taurat. Waktu itu 'Uzair masih kecil sehingga dia dibiarkan (tidak dibunuh). Dan tatkala 'Uzair wafat di Babil seratus tahun lamanya kemudian Allah membangkitkan serta mengutusnya kepada Bani Israil, beliau berkata: "Saya adalah 'Uzair." Mereka pun tidak mempercayainya seraya menjawab: "Nenek moyang kami mengatakan bahwa 'Uzair telah wafat di Babil, dan jika engkau benar-benar adalah 'Uzair, diktekanlah Taurat kepada kami. Maka 'Uzair pun menuliskannya. Melihat hal itu mereka menyatakan: "Inilah adalah anak Allah." (Zadul Masi'ir Fii 'Ilmi At-Tafsir, oleh Ibnul Jauzi juz 3 hal 423-424)

Riwayat kedua ini menyatakan bahwa 'Uzair adalah seorang Nabi dari para Nabi Bani Israil. Setelah beliau meninggal seratus tahun lamanya, Allah membangkitkannya sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:

أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَى قَرْيَةٍ وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّى يُحْيِي هَذِهِ اللهُ بَعْدَ مَوْتِهَا فَأَمَاتَهُ اللهُ مِائَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالَ بَلْ لَبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانْظُرْ إِلَى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ وَانْظُرْ إِلَى حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ ءَايَةً لِلنَّاسِ وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْمًا فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ. ﴿البقرة: ٢٥۹

Atau apakah kamu tidak (memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: "Berapa lama kamu tinggal di sini?" Ia menjawab: "Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari." Allah berfirman: "Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah, dan lihatlah keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali kemudian Kami membalutnya dengan daging." Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang mati) dia pun berkata: "Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (al-Baqarah: 259)

Demikianlah asal usul orang-orang Yahudi menamakan 'Uzair sebagai anak Allah. Adapun perkataan orang-orang Nashrani bahwa Isa anak Allah atau sebagai Allah, ada dua sebab. Yang pertama karena Isa lahir tanpa bapak. Dan kedua karena dia mampu menyembuhkan orang buta dan bisu serta menghidupkan orang mati dengan izin Allah. (Kitab Mahabbatu ar-Rasul hal. 155)

Yang menyatakan demikian bukanlah shahabat-shahabat Nabi Isa sendiri, melainkan orang- orang yang ghuluw dari kalangan Nashrani setelah wafat beliau. Setelah selang beberapa waktu mereka menjadi musyrik dikarenakan perkataan mereka itu.
Allah telah membantah serta menerangkan sangkaan mereka yang tanpa dalil tersebut, yang menyebabkan mereka kafir. Allah berfirman:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ. ﴿المائدة: ٧٢


Sungguh telah kafir orang-orang yang berkata: Sesungguhnya Allah ialah al-Masih putera Maryam... (al-Maidah: 72)

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلاَّ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ. ﴿المائدة: ٧۳

Sungguh telah kafir orang yang menyatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga," padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. (al-Maidah: 73)

Siksaan yang pedih di akhirat merupakan balasan orang-orang yang menyatakan bahwa Isa adalah putra Allah atau Isa adalah Allah. Dan mereka termasuk orang-orang kafir dan akan kekal di neraka. Mereka tidak mengetahui bahwa Isa adalah hanyalah seorang Rasul, dan dia hanyalah orang biasa yang dimuliakan dengan beberapa kekhususan, sebagaimana firman Allah Ta'ala:

مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلاَّ رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ كَانَا يَأْكُلاَنِ الطَّعَامَ... ﴿المائدة: ٧٥

Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang Rasul, yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya para Rasul, dan Ibunya seorang yang benar, keduanya biasa memakan makanan..." (al-Maidah: 75)

Demikianlah umat-umat terdahulu terjebak ke dalam jurang dosa yang sangat dalam yaitu kesyirikan disebabkan sikap ghuluw mereka kepada orang-orang shalih.

Kerusakan seperti ini tak kunjung berhenti dan akan terus berulang sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa umat ini akan meniru peradaban kaum-kaum sebelumnya. Beliau bersabda:

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ لَدَخَلْتُمُوْهُ قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ الْيَهُوْدُ وَ النَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟! (رواه البخاري ومسلم

Benar-benar kalian akan mengikuti sunnah-sunnah (jalan-jalan) orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai kalau mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kamu akan mengikuti mereka. Kami (shahabat) bertanya: "Wahai Rasulullah, Yahudi dan Nashrani?" Beliau menjawab: "Siapa lagi?" (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan kita harus meyakini hadits ini bahwa umat ini akan mengikuti sunnah-sunnah umat-umat sebelum mereka seperti sikap ghuluw Yahudi dan Nashara. Hal ini telah terjadi di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu yaitu ketika terjadi kekufuran yang bersumber pada sikap ghuluw kelompok Saba'iyah (pengikut Abdullah bin Saba', seorang Yahudi) terhadap Ali bin Abi Thalib sehingga mereka menyatakan bahwa Ali adalah Tuhan dan memiliki sifat ketuhanan. Kelompok ini lebih dikenal dengan sebutan Syi'ah Rafidlah yang pertama kali membuka pintu ghuluw terhadap Ali bin Abi Thalib dan kepada anak cucu beliau radhiallahu 'anhu.

Di antara sikap ghuluw yang ada kita juga bisa menemukan adanya sikap ghuluw yang dilakukan sekelompok dari orang-orang sufi terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan syaikh- syaikh mereka. Seperti tindakan mereka berdoa kepada Rasul, meminta bantuan (isti'anah), dan pertolongan (istighatsah) dengan memanggil-manggil beliau, atau mengusap-usap kubur beliau atau thawaf di sekelilingnya. Dan terkadang seperti itu pula mereka melakukan terhadap syaikh- syaikh mereka yang telah meninggal.

Di antara mereka ada yang bersikap ghuluw terhadap Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani rahimahullah di Baghdad, Syaikh al-Adawi di Mesir, Para Syaikh (yang dianggap, red) Wali Songo di Indonesia, serta di antara mereka ada pula yang bersikap ghuluw terhadap seorang tokoh yang difiguritaskan seperti Hasan al-Banna di Mesir yang dilakukan oleh sekelompok kaum muslimin dari kalangan firqah Ikhwanul Muslimin sampai di antara mereka ada yang mengatakan bahwa: "Hasan Al-Banna tidak mati, akan tetapi hidup di sisi Allah, akhlaknya adalah Al-Quran", sehingga beliau dijuluki sebagai asy-Syahid. Padahal beliau adalah seorang yang berakidahkan Sufi al- Hashafiyah Asy-Syadziliyah, sebagaimana yang dijelaskan oleh syaikh Farid Ahmad bin Manshur Ali Asy-Syabit di dalam Kitabnya Da'watu Ikhwanil Muslimin fi Mizanil Islam hal. 63. Diterangkan pula di dalam kitab tersebut bahwa Hasan al-Banna telah menolak hadits tentang turunnya Imam Mahdi di akhir zaman, serta akidah beliau yang telah menyimpang dari akidah para salafus shalih.

Demikianlah sikap ghuluw selalu ada di umat ini selama mereka menjauhi Al-Qur`an dan As- Sunnah serta pemahaman para shahabat radhiyallahu 'anhum. Dengan semakin jauhnya mereka dari al-Qur`an dan as-Sunnah, semakin besarlah kerusakan yang mereka lakukan disebabkan sikap ghuluw tersebut. Tidak sedikit dari kalangan muslimin khususnya orang-orang awam yang terjatuh ke dalam perbuatan syirik sebagaimana yang dilakukan di zaman Nabi Nuh 'alaihis salam.

Maka bagi kita haruslah ingat sabda beliau:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ. (رواه أحمد وابن ماجه والنسائي وقال الشيخ الإسلام ابن تيمية في الإقتضاء ص ١٠٦، إسناده على شرط مسلم و وافقه الألباني في الصحيحة رقم ١٢٨٣

Hati-hatilah kalian terhadap perbuatan ghuluw di dalam agama, karena sesungguhnya hancurnya orang-orang sebelum kalian dikarenakan (sikap) ghuluw di dalam agama." (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Nasa`i, dan berkata Syaikhul Islam di dalam Iqtidha hal. 106: Sanadnya dengan atas syarat Muslim, dan disepakati oleh Al-Albani di dalam ash-Shahihah 1283)

Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar menjauhkan kita dari sikap berlebih- lebihan di dalam beragama, dan agar Allah menunjuki kita serta kaum muslimin untuk kembali ke jalan-Nya yang lurus. Amin. Wallahu a'lam bis shawab.

Maraji':

1. Al-I'tisham oleh al-Imam asy-Syatibi2. Al-Qur`an al-Karim
3. Dakwah Ikhwanul Muslimin fi Mizanil Islam oleh Syaikh Farid Ahmad bin Manshur Ali Asy- Syabt.
4. Kasyfus Syubhat oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
5. Kitab Fathul Majid oleh Asy-Syaikh Abdurrahman Ali Asy-Syaikh.
6. Mahabbatur Rasul Bainal Ittiba' Wa al-Ibtida' oleh Asy-Syaikh Abdurrauf Muhammad Utsman.
7. Tafsir Ibnu Katsir jilid 4.

( Salafy edisi VII/Shafar/1417/1996 )

Posting ulang dari:
https://www.alquran-sunnah.com/artikel/kategori/aqidah/313-ghuluw-penyakit-yang-membahayakan-umat.html

Minggu, 06 Oktober 2019

Minggu, Oktober 06, 2019

Amar Ma'ruf Nahi Munkar Dengan Ilmu, Sikap Lemah Lembut dan Sabar.


Amar ma'ruf nahi munkar - sebagaimana menurut Al-Fudhail bin Iyadh, -semoga Allah memberi rahmat kepadanya- merupakan amal paling ikhlas dan benar. Bila amal itu dilakukan dengan ikhlas tapi tidak benar, ia tidak diterima. Sebaliknya, bila amal itu benar tapi tidak ikhlas, juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar.

Amal ikhlas adalah amal yang dimaksudkan untuk Allah dan amal yang benar, amal yang sesuai dengan tuntunan sunnah Rasul. Maka amal salih harus diniatkan untuk memperoleh keridhaan Allah. Sebab Allah tidak akan menerima amal kecuali amal yang diniatkan untuk mendapat keridhaan-Nya semata. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits (qudsi) yang shahih dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda:

Allah berfirman: "Aku adalah sekutu yang paling sangat tidak membutuhkan persekutuan. Siapa yang melakukan suatu amal, di mana selain Aku disekutukan (diniatkan juga untuk sesuatu di samping Allah), maka Aku bebas daripadanya (tidak menerimanya). Amal itu seluruhnya untuk sesuatu yang dipersekutukan itu." (H.R. Ibu Majah). 

Itulah tauhid yang jadi pokok agama Islam, agama Allah yang dengannya Dia mengutus semua Rasul-Nya dan untuk-nyalah Dia menciptakan makhluk. Ia hak Allah yang diwajibkan kepada semua hamba-Nya agar beribadat (menyembah) kepada-Nya, dan tidak mempersekutukan dengan selain-Nya. 

Ilmu Dasar Amal Salih

Amal tidak dikatakan shalih jika dilakukan tanpa ilmu dan pemahaman. Sebagaimana Umar bin Abdul Al-Aziz -semoga Allah ridha kepadanya- pernah berkata:

"Siapa yang ibadat kepada Allah tanpa suatu ilmu, akan lebih banyak memberikan mafsadat daripada maslahat nya".

Juga dalam hadits riwayat Mu'adz bin Jabal -semoqa Allah ridha kepadanya:

"IImu adalah pemandu (imam) amal, dan amal itu pengikutnya."

Itu jelas. Sebab niat dan amal jika tanpa ilmu, ia merupakan kebodohan dan kesesatan serta mengikuti hawa nafsu. Ini bedanya pengikut tradisi jahiliyah (ahlul-Jahiliyah) dan pengikut Islam (ahlul-Islam). Karena itu harus ada pengetahuan terhadap yang ma'ruf dan yang munkar, serta dapat membedakan keduanya. Juga harus ada pengetahuan tentang keadaan orang yang disuruh dan dilarang.

Akhlak Mulia dan Sabar

Allah Ta'ala menjelaskan sifat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam yang lemah lembut dan tidak kasar. 

“Dengan sebab rahmat Allah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauh dari sekelilingmu.” [Q.S. Ali Imran : 159]

Amar ma'ruf nahi munkar harus dengan cara halus. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam pernah bersabda:

"Tiadalah sikap halus dalam suatu hal melainkan memperbagus sesuatu itu; dan tiadalah sikap kasar dalam suatu hal melainkan hanya memperburuknya." (R.H.Muslim)

Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang lain:

"Allah bersifat sangat halus, menyukai sikap halus dalam semua urusan; dan Dia memberi karena sikap halus itu, sesuatu yang tidak akan Dia berikan karena sikap kasar." (H.R Muslim).

Melakukan amar ma'ruf nahi munkar harus dengan sifat hilm (mampu menahan emosi) dan tabah (sabar) terhadap setiap gangguan, sebab ia mesti menemui gangguan. Jika tidak hilm dan sabar, akan lebih banyak membawa mafsadat daripada maslahat. 

Dalam cerita Al-Qur'an, Luqman berkata kepada putranya:

"Hai anakku, dirikan shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang ma'ruf dan cegahlah (mereka) dari yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yng demikian itu termasuk hal-hal yang di wajibkan (oleh AIIah)." (Q.S. Lukman :17).

Dalam surat Al-Muddatstsir Allah berfirman:

"Hai orang yang berselimut,
bangunlah, lalu beri peringatan!
dan Tuhanmu agungkanlah,
dan pakaianmu bersihkanlah,
dan perbuatan dosa tinggalkanlah,
dan janganlah kamu memberi (dengan maksud)memperoleh balasan) yang lebih banyak.
Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah." (Q. S. Al-Muddatstsir: l-7).

Allah memulai ayat-ayat risalah (kerasulan)-Nya kepada makhluk dengan menyuruh memberi peringatan, dan mengakhirinya dengan menyuruh sabar. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

"Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhi mereka dengan cara baik." (Q.S. Al-Muzzammil:10) 

"Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebaikan. " (Q.S. Hud: 115).

Karena itu, dalam tugas kewajiban amar mu'ruf nahi munkar harus ada tiga hal: ilmu, sikap halus dan sabar. Ilmu harus sudah dimiliki sebelum melakukan tugas kewajiban amar ma'ruf nahi munkar; sikap halus harus bersamaan dengan pelaksanaan tugas; dan sifat sabar sesudah pelaksanaan tugas, meski sebenarnya ketiganya harus ada dalam semua keadaan. Hal tersebut sebagaimana bersumber dari atsar dari sebagian orang-orang salaf yang diriwayatkan secara marfu' -diceritakan oleh Al-Qadhi Abu Ya'la dalam kitab Al-Mu'tamad:

'Tidak boleh melakukkan amar ma'ruf nahi munkar kecuali orang yang paham (punya ilmu) tentang apa yang ia suruhkan, paham tentang apa yang ia cegah, bersikap halus dalam apa yang ia suruh dan cegah, dan bersifat hilm (sabar) dalam apa yang ia suruh dan cegah. 

Wallahu Ta’ala A’lam. 

Dinukil dengan beberapa penyesuaian bahasa dari buku: Amar Ma'ruf Nahi Munkar ( Perintah kepada kebaikan larangan dari kemungkaran) hal 101 - 109, 
Buah karya: Syaikhul lslam lbnu Taimiyyah
Penerjemah: Akhmad Hasan
Dicetak dan diterbitkan Oleh: Departemen Urusan Keislaman, Wakaf, Da'wah dan Pengarahan Kerajaan Arab Saudi.