TITIAN SALAF

"Syiarkan Sunnah, Kikis Bid'ah". Mencukupkan Diri Dengan Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam Dengan Mengikuti Pemahaman Generasi Terbaik Para Sahabat Radhiyallahu’anhum

Breaking

Jumat, 31 Juli 2020

Jumat, Juli 31, 2020

Tanda-tanda Lemah Iman (3 ‐ selesai)


"Aku merasa  hatiku  keras",  "Aku  tidak  dapat  merasakan nikmatnya  ibadah",  "Aku  merasa  imanku  berada  di  titik nadir",  "Aku  tidak dapat  merasakan  pengaruh  bacaan  al Quran",  "Aku  mudah  terjerumus  dalam maksiat".

Kondisi-kondisi tersebut diatas adalah sebagian pengaruh penyakit lemah iman. 

Berikut ini adalah lanjutan tanda-tanda lemah iman sebagai kelanjutan dua artikel sebelumnya. 

14. Meremehkan kebaikan dan tidak peduli dengan kebaikan-kebaikan kecil.
 
Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- telah mengajarkan kita agar tidak seperti itu. Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad -rahimahullah- dari Abu Jarî al-Hajimi, katanya:
 
"Aku mendatangi Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- dan bertanya:
 
'Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami adalah kaum badui, ajarkan kami sesuatu yang akan Allah beri manfaat kepada kami!".
 
Nabi bersabda:

لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تُفْرِغَ مِنْ دَلْوِكَ فِي إِنَاءِ الْمُسْتَسْقِي وَلَوْ أَنْ تُكَلِّمَ أَخَاكَ وَوَجْهُكَ إِلَيْهِ مُنْبَسِطٌ

"Janganlah meremehkan kebaikan sekecil apapun, sekalipun sekedar mengosongkan isi embermu untuk orang yang memerlukan air, dan sekalipun berbicara dengan saudaramu dengan wajah yang ceria." [Musnad Ahmad V/63. Silsilah as-Sahihah no.1352.]

Seandainya ada yang ingin mengambil air dari sumur, sedangkan engkau telah lebih dulu mengambilnya, maka berikan air itu kepadanya. Amalan seperti ini meskipun nampaknya sepele, tidak semestinya diremehkan. Demikian pula dengan menemui saudaramu dengan wajah ceria, membersihkan kotoran dan sampah dari masjid, walaupun hanya serpihan, semoga saja menjadi sebab pengampunan dosa.
 
Allah mensyukuri hamba-Nya dengan amalan seperti itu dan mengampuni dosanya. Bukankah Rasulullah shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
 
مَرَّ رَجُلٌ بِغُصْنِ شَجَرَةٍ عَلَى ظَهْرِ طَرِيقٍ فَقَالَ وَاللَّهِ لَأُنَحِّيَنَّ هَذَا عَنْ الْمُسْلِمِينَ لَا يُؤْذِيهِمْ فَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ

"Seseorang lewat dijalan dan mendapati ranting kayu menghalangi jalan. Dia berkata, 'Demi Allah, aku akan menyingkirkannya agar tidak menyakiti kaum muslimin lain!' Dia pun dimasukkan ke dalam surga." [HR. Muslim no.1914.]

Pada jiwa yang meremehkan amalan baik yang ringan, ada kejelekan dan keteledoran. Cukup baginya hukuman atas penghinaannya terhadap kebaikan yang kecil diharamkan dari keistimewaan agung yang dijelaskan oleh sabda Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam-:
 
من أمام أذى عن طريق المسلمين كتب له حسنة ومن تقبلت له حسنة دخل الجنة 

"Siapa yang menyingkirkan gangguan dari jalan kaum muslimin, dicatatkan untuknya satu kebaikan. Siapa yang diterima kebaikannya dia masuk surga." [HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrod no.593. as-Silsilah as-Shahihah V/387.]
Mu'adz -radiallahu'anhu- berjalan bersama seorang lelaki. Muadz menyingkirkan batu dari jalan. Lelaki itu bertanya: 

"Apa yang kau lakukan?"
 
Muadz berkata: "Aku mendengar Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda: 

من رفع حجرا من الطريق كتب له حسنة ومن كانت له حسنة دخل الجنة

"Siapa yang menyingkirkan batu dari jalan, Allah catatkan untuknya satu kebaikan. Siapa yang memiliki kebaikan akan masuk surga." [Al-Mu'jam al-Kabir oleh at-Thabarani XX/101. Silsilah as-Shahihah V/387.]

15. Tidak peduli dengan kondisi kaum muslimin, tidak bersimpati dengan doa, sedekah maupun bantuan lain.
 
Mati rasa terhadap penderitaan saudara-saudaranya di belahan bumi yang terbelenggu musuh, tertindas, teraniaya dan terkena bencana. Cukup baginya keselamatan dirinya sendiri. Ini adalah dampak lemahnya iman. Seorang mukmin justru sebaliknya. Nabi -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
 
إن المؤمن من أهل الإيمنان بمنزلة الرأس من الجسد يألم المؤمن لأهل الإيمان كما يألم الجسد لما فى الرأس

"Sesungguhnya seorang mukmin bagi ahli iman seperti kepala pada tubuh. Seorang mukmin akan merasa sakit terhadap (penderitaan) ahli iman seperti sakitnya tubuh ketika merasa ada gangguan di kepalanya." [Musnad Ahmad V/340. Silsilah as-Shahihah no.1137.]

16. Memutuskan tali persaudaraan antara orang yang bersaudara. 

Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda,
 
ما تولد اثنان فى الله عز وجل أوفى الإسلام فيفرق بينهما أول ذنبو وفى رواية: ففرق بينهما إلا بذنب} يحدثه أحد هما

"Tidaklah dua orang yang saling berkasih sayang karena Allah -azzawajalla- atau dalam islam, kemudian berselisih, melainkan karena dosa yang pertama kali [Dalam riwayat lain: tidak terpisahkan kecuali oleh dosa] dilakukan oleh salah seorang dari keduanya."[HR. al-Bukhari dalam al-Âdab al-Mufrod no.401. Ahmad dalam al-Musnad II/68. as-Silsilah as-Shahihah no.637]

Ini adalah dalil akan "karma" yang disebabkan oleh maksiat. Ia dapat menyebabkan terlepasnya ikatan persaudaraan dan memutuskannya. Keberutalan yang terkadang didapati seseorang dari saudaranya dikarenakan keimanan yang menurun, akibat dari maksiat yang dilakukannya; karena Allah menjatuhkan martabat pelaku maksiat di hati hamba-hamba-Nya. Dia hidup di antara manusia dengan keadaan yang buruk, tak bermartabat, sulit keadaan lagi tidak terhormat. Terluput juga darinya kemuliaan sebagai orang yang beriman serta pembelaan Allah, sesungguhnya allah hanya membela orang-orang yang beriman.
 
17. Tidak memiliki rasa tanggung jawab untuk mengamalkan agama ini. 
Tidak berupaya untuk menyebarkan dan berkhidmat kepada agama ini. 

Bertolak belakang dengan para sahabat Nabi -shalallahu alaihi wasalam- yang ketika memeluk Islam langsung merasa memiliki tanggung jawab. Lihatlah Tufail Ibn Amr radiallahu'anhu-, berapa sering dia mondar-mandir menjelaskan Islam kepada kabilahnya, menyeru kepada Allah -azzawajalla-?! Dia bersegera mendakwahi kaumnya. Spontan setelah memeluk Islam dia langsung merasa harus kembali kepada kaumnya, kembali sebagai seorang dai (juru dakwah) penyeru kepada Allah subhanahu wata'âla-. 

Namun sekarang ini kebanyakannya membutuhkan waktu lama antara komitmen beragama hingga sampai pada tahap dakwah kepada Allah -azzawajalla-.
 
Para sahabat Muhammad -shalallahu alaihi wasalam- memahami bahwa konsekuensi memeluk Islam adalah memusuhi kekafiran, berlepas diri, serta memisahkan diri dari mereka. Tsumamah Ibn Atsâl -radiallahu'anhu-, pemimpin Yamamah, ketika tertawan dibawa dan diikat di masjid. Nabi menawarkan kepadanya untuk memeluk Islam. Allah memberinya cahaya (keimanan) menerima Islam. Setelah memeluk Islam dia berangkat umrah. Ketika sampai di Mekkah, dia berkata kepada kaum Quraisy:
 
"Tidak akan sampai kepada kalian sebutir gandum pun dari Yamamah, sampai Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- mengizinkannya." [HR. Al-Bukhari dalam Fathul Bâri VIII/87.]

Pemisahan dirinya dengan kaum kafir dan pemboikotan secara ekonomi terhadap kafir Quraisy merupakan bentuk upaya yang mungkin dan tersedia untuk berkhidmat dalam dakwah. Ini terjadi secara langsung sebagai buah keimanan yang mantap sehingga berdampak pada munculnya perbuatan itu.
 
18. Cemas dan ketakutan ketika datang musibah atau terjadi masalah.
 
Engkau mendapatinya gemetar ketakutan, terganggu keseimbangannya, linglung, egois dan bingung dengan keadaannya ketika tertimpa bencana dan musibah. Jalan keluar tertutup dari pandangannya, dikuasai kegundahan, tidak dapat menghadapi kenyataan dengan stabil dan dengan hati/kalbu yang kuat. Itu semua dikarenakan lemah iman. Seandainya imannya kuat, tentu dia akan bertahan. Dia akan dapat menghadapi sebesar dan separah apa pun musibah dan bencana dengan kuat dan teguh.
 
19. Banyak berdebat, pamer lagi keras hati.
 
Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
 
ما ضل قوم بعد هدى كانوا عليه إلا أتوا الجدل

"Tidaklah tersesat suatu kaum setelah mendapat petunjuk atas apa yang mereka lakukan, melainkan setelah melakukan perdebatan." [HR. Ahmad dalam al-Musnad V/252. Shahih al-Jâmi' no.5633.]

Perdebatan tanpa dalil dan tanpa tujuan yang benar membuat jauh dari jalan yang lurus. Berapa banyak perdebatan manusia hari ini yang dilakukan dengan cara yang batil, berdebat dengan tanpa dalil dan tanpa petunjuk hadits maupun al-Quran. 

Cukuplah untuk dapat meninggalkan bagian tercela ini sabda Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam-:
 
أنا زعيم ببيت فى ربض الجنة لمن ترك المراء وإن كان محقا 

"Aku adalah pemimpin pada rumah di dasar surga bagi yang meninggalkan riya (pamer), sekalipun benar." [HR. Abu Dâwud V/150. Shahih al-Jami' no.1464.]

20. Cinta dunia, sangat bernafsu dan berhasrat terhadapnya.
 
Ketergantungan hatinya kepada dunia sampai kepada tingkatan akan merasa sakit jika ada kesempatan yang luput darinya, baik dalam bentuk harta, kehormatan, kedudukan maupun tempat tinggal. Menganggap diri bodoh dan buruk perencanaan hanya karena tidak bisa mendapat apa yang didapatkan orang lain. Dia merasa sakit dan amat tertekan jika melihat saudaranya memperoleh apa yang tidak didapatkannya dari kesempatan dunia. Bahkan terkadang mendengki dan mengharap nikmat itu sirna dari saudaranya. Ini bertentangan dengan iman, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam-:
 
لا يجتمعان فى قلب عبد الإيمان والحسد

"Tidaklah berkumpul di dalam kalbu seorang hamba antara keimanan dan kedengkian." [HR. Abu Dâwud V/150. Shahih al-Jami' no.1464.]

21. Mengambil ucapan seseorang dan retorika naluriah akal semata dengan mengesampingkan sisi imaniah.
 
Bahkan hampir-hampir engkau tidak mendapati dalam pembicaraannya unsur al-Quran, sunah atau perkataan generasi pendahulu Islam (salaf) -rahimahullah-. 

22. Pemanjaan diri yang berlebihan dalam makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan kendaraan.
 
Engkau dapati dia begitu konsentrasi dengan kebutuhan tersier (bukan kebutuhan pokok) dengan perhatian yang berlebihan. Memuaskan diri dan memaksakan diri membeli pakaian yang mahal, menikmati interior mewah dan menghamburkan harta dan waktunya untuk kemewahan yang bukan kebutuhan darurat (primer), padahal saudaranya dari kaum muslimin di sekitarnya ada yang sangat berhajat kepada harta itu. Dia terhanyut hingga tenggelam dalam kenikmatan dan kemewahan yang dilarang, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Muadz Ibn Jabal -radiallahu'anhu- ketika diutus oleh Nabi -shalallahu alaihi wasalam- ke Yaman dengan wasiat: 

إيك والتنعيم فإن عباد الله ليسوا بالمتنعمين 

"Hindarilah memuaskan diri, sesungguhnya hamba Allah bukanlah dia yang suka memuas-muaskan diri."[HR. Abu Na'îm dalam al-Hilyah V/155. As-Silsilah as-Shahihah no.353. Riwayat Ahmad dengan lafal 'إياي' [Tidaklah aku] al-Musnad V/243.]

Dikutip dari:  ظاهرة ضعف  الإيمان   (Fenomena Lemahnya Iman) Syaikh Muhammad Sholeh al-Munajjid

Jumat, 17 Juli 2020

Jumat, Juli 17, 2020

Tanda-tanda Lemah Iman (2)


Ahlussunnah Waljamaah meyakini iman dapat berkurang dan bertambah. Iman bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang apabila melakukan maksiat. Seorang muslim mesti peka dengan tanda-tanda yang tampak sehingga dapat mengenali kondisi keimanannya. Lemahnya iman merupakan musibah bagi seorang muslim.

Maka sesungguhnya penyakit lemah iman memiliki gejala dan tanda-tanda, di antaranya:


9. Senang memamerkan diri, dalam bentuk: 
  • Senang berkuasa dan memimpin, tanpa memperdulikan tanggung jawab dan bahayanya. Yang seperti inilah yang diperingatkan oleh Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- dengan sabdanya: 
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتْ الْفَاطِمَةُ

Kalian akan tamak pada kekuasaan yang pada hari kiamat akan menjadi penyesalan. permulaannya dan malapetaka pada akhirnya. [HR. al-Bukhari no. 6729]

Nikmat Maksud "nikmat permulaannya" karena perolehan harta, kehormatan dan kenikmatannya. Sedangkan "malapetaka pada akhirnya" karena terdapat pembunuhan, pelengseran, dan kepayahan pada hari kiamat."

Nabi -shalallahu alaihi wasalam- pun bersabda:

إن شئتم أنبأتكم عن الإمارة وما هى أولها ملغمة وثانيها ندامة وثالثها عذاب يوم القيامة إلا من عدل

"Jika kalian ingin, aku dapat menjelaskan apa kekuasaan itu; permulaannya celaan, keduanya penyesalan, ketiganya siksa pada hari kiamat, kecuali bagi yang adil." [HR. at-Thabaroni dalam al-Kabir XVIII/72. Lihat Shahih al-Jami no.1420.]

Jika perkaranya adalah menjalankan kewajiban dan tanggung jawab, di mana tidak ada orang yang lebih baik darinya, seraya bersungguh-sungguh, saling menasihati dan adil sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Yusuf –alaihisalam-, kita katakan nikmat dan kemuliaan. Akan tetapi pada kebanyakannya adalah keinginan liar kekuasaan, ingin lebih, menindas para pemilik hak dan memonopoli perintah dan larangan. 
  • Senang muncul di majelis-majelis dan memonopoli pembicaraan, sedang yang lain wajib mendengarnya. Muncul di majelis-majelis maksudnya mimbar-mimbar. Hal ini telah diperingatkan oleh Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- dengan sabdanya: 
اتقوا هذه المسابح- يعنى المحارب

"Jauhilah tempat-tempat penyembelihan –maksudnya mimbar-mimbar." [HR. al-Baihaqi II/439. Lihat Shahih al-Jami' no.120.]
  • Senang jika orang-orang berdiri menyambutnya, demi memuaskan rasa gila penghormatan pada jiwanya yang sakit. Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda: 
من سره أن يمثل له العباد قياما فليتبوأ بيتا فى النار

"Siapa yang senang dihormati dengan cara hambahamba Allah berdiri menyambutnya, maka dia telah menempatkan tempat duduknya di neraka." [HR. al-Bukhari dalam Adab al-Mufrod no.977. lihat Silsilah as-Shahihah no.357.]

Oleh karena itu, ketika Muawiah mendatangi Ibnu Zubair dan Ibn Âmir, Ibn Âmir berdiri sedangkan Ibnu Zubair tetap duduk, Muawiah berkata kepada Ibn Âmir: 

"Duduklah, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَمْثُلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

'Siapa yang senang dihormati dengan cara hamba-hamba Allah berdiri menyambutnya, maka dia telah menempatkan tempat duduknya di neraka'. [HR.Abu Dâwud no.5229. Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrod no.977. asSilsilah as-Shahihah no.357.]

Tipe orang seperti ini akan marah jika sunah nabi ini diterapkan. Jika masuk suatu majelis, dia tidak rida kecuali ada salah seorang yang berdiri menyambutnya dan mendudukkannya, meskipun dia tahu Nabi shalallahu alaihi wasalam- melarang hal itu dalam sabdanya: 

لا يقيم الرجال الرجال من مجلسه ثم يجلس فيه

"Janganlah seseorang itu membangunkan orang lain dari duduknya kemudian dia duduk di situ." [Al-Bukhari dalam Fathul Bâri no.XI/62.]

10. Serakah dan kikir

Allah -subhanahu wata'âla- telah memuji kaum Anshar dalam kitab-Nya: 

{ وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ َ} [الحشر : ٩]

"...dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan." (QS.al-Hasyr: 9)

Dijelaskan bahwa orang-orang yang beruntung adalah mereka yang menjauhi keserakahan diri mereka. Tidak diragukan bahwa lemah iman melahirkan keserakahan. Bahkan Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda: 

لا يجتمع الشح والإيمان فى قلب عبد أبدا

"Tidak akan berkumpul keserakahan dan keimanan dalam hati seorang hamba sama sekali." [HR.an-Nasâi dalam al-Mujtaba VI/13. Shahih al-Jâmi' no.2678.]

Mengenai bahaya keserakahan dan pengaruhnya terhadap jiwa telah dijelaskan oleh Nabi -shalallahu alaihi wasalam- dengan sabdanya: 

إِيَّاكُمْ وَالشُّحَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالشُّحِّ أَمَرَهُمْ بِالْبُخْلِ فَبَخِلُوا وَأَمَرَهُمْ بِالْقَطِيعَةِ فَقَطَعُوا وَأَمَرَهُمْ بِالْفُجُورِ فَفَجَرُوا

"Jauhilah oleh kalian keserakahan. Sungguh binasanya orang-orang sebelum kalian karena keserakahan. Ketika (keserakahan) memerintahkan mereka untuk bakhil, mereka berbuat kekikiran, ketika memerintah untuk memutus persaudaraan, mereka memutus persaudaraan dan ketika memerintah mereka untuk berbuat kekejian, mereka melakukannya." [HR. Abu Dâwud II/324. Shahihul Jami' no.2678.]

Kebakhilan pada pemilik iman yang lemah, membuatnya hampir-hampir tidak mengeluarkan sedikit pun untuk Allah, sekalipun ada yang meminta sedekah dan menyaksikan sendiri kebutuhan saudaranya muslim yang terkena musibah. Tidak ada yang lebih tepat tentang mereka ini daripada firman Allah: 

{هَا أَنتُمْ هَٰؤُلَاءِ تُدْعَوْنَ لِتُنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَمِنكُم مَّن يَبْخَلُ ۖ وَمَن يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَن نَّفْسِهِ ۚ وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنتُمُ الْفُقَرَاءُ ۚ وَإِن تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُم} [محمد : ٣٨]

"Ingatlah, kamu adalah orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) di jalan Allah. Lalu di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Mahakaya, dan kamulah orang-orang yang membutuhkan (karunia-Nya). Dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan (durhaka) seperti kamu." (QS.Muhammad:38).

11. Mengatakan apa yang tidak dilakukannya.

Allah –wata'ala- berfirman:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ}
{كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ} [الصف : ٢،٣]

"Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan." (QS.as-Shaff: 2,3) 

Tidak diragukan kalau ini adalah jenis kemunafikan. Siapa yang perkataannya menyelisihi perbuatannya, menjadi tercela di sisi Allah dan dibenci oleh makhluk. Penghuni neraka nantinya akan membeberkan apa-apa yang telah mereka perintahkan di dunia tetapi tidak melaksanakannya, dan apa yang dilarangnya tetapi dilakukannya. 

12. Gembira dan menginginkan saudaranya gagal, rugi, terkena musibah dan lenyap kenikmatannya. 

Dia merasa gembira ketika nikmat yang ada pada saudaranya sirna. Karena sesuatu yang menjadikan saudaranya itu istimewa telah tiada darinya. 

13. Hanya melihat sesuatu perkara dari sisi apakah mengandung dosa ataukah tidak, tanpa melihat lagi apakah hal itu termasuk perkara "makruh" (dibenci) atau tidak. 

Sebagian orang, jika hendak mengerjakan suatu amal tidak bertanya mana amal-amalan yang baik, tetapi yang ditanya 'apakah perbuatan itu dosa atau tidak?', 'haram atau cuma makruh?'. Mental seperti ini dapat menjeratnya ke dalam syirik "subhat" (kerancuan) dan "makruhat" (perkara-perkara yang dibenci), sehingga menjerumuskannya pada perkara haram pada suatu saat. 

Orang seperti ini tidak mengapa baginya mengerjakan perkara "makruh" (yang dibenci) atau "musytabih" (meragukan), selama perkaranya bukan haram. Inilah yang senyatanya dikabarkan oleh Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- dengan sabdanya: 

مَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ

"Siapa yang terjerumus pada subhat (meragukan) telah terjerumus pada yang haram. Seperti penggembala yang menggembalakan gembalaannya di sekitar pagar, tidak ayal akan menerobos ke dalamnya..." [Hadits di dalam Sahihain dengan lafal dari Muslim no.1599.]

Bahkan sebagian orang jika meminta fatwa dalam suatu perkara dan dikhabarkan bahwa hal itu haram akan bertanya, 'apakah sangat haram atau tidak?' atau 'seberapa besar dosanya?'. Yang seperti ini, tidak ada pada dirinya kepedulian untuk menjauhi kemungkaran dan kejelekan. Bahkan dia siap untuk terjerumus dalam tahap awal perbuatan haram. Dia menyepelekan dosadosa yang dianggap kecil, sehingga menjadi berani melanggar apa yang Allah haramkan. Hilang sekat antara dirinya dan kemaksiatan. Karenanya Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda dalam hadits sahih: 

لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا

"Sungguh aku mengetahui kaum dari umatku yang datang membawa kebaikan seperti gunung Tuhâmah, namun Allah -azzawajalla- menjadikannya debu yang beterbangan." 

Tsauban -radiallahu'anhu- bertanya, 
"Wahai Rasulullah, deskripsikan mereka kepada kami agar kami tidak seperti mereka tanpa menyadarinya?" 
Nabi menjawab, 

إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا

"Mereka adalah saudara-saudara kalian dan dari bangsa kalian. Malam mereka sama seperti malam kalian (maksudnya dalam beribadah di malam hari.), akan tetapi jika tengah bersendirian dengan perkara haram mereka melabraknya." [HR. Ibnu Hibban no.4245. Di dalam az-Zawaid disebutkan sanadnya sahih dan periwayatnya terpercaya. Lihat Shahih al-Jami no.5028.]

Engkau dapatkan mereka terjerumus dalam perkara haram tanpa risih dan ragu. Ini lebih buruk dari mereka yang terjerumus setelah ragu-ragu dan risih, meskipun keduanya dalam bahaya, namun keadaan orang yang pertama lebih jelek dari yang kedua. Macam orang seperti ini menggampangkan dosa karena kelemahan imannya. Dia tidak melihat bahwa hal itu adalah sesuatu kemungkaran. Karenanya Ibnu Mas'ud -radiallahu'anhu- menggambarkan perbedaan antara keadaan orang beriman dengan orang munafik dengan: 

"Orang beriman melihat dosanya seperti batu di atas gunung dan takut akan menimpanya. Sedangkan pelaku dosa, melihat dosanya seperti lalat yang lewat di hidungnya dan menepisnya." [HR. al-Bukhari dalam Fathul Bâri XI/102. Lihat Taghliq at-Ta'lîq V/136 terbitan al-Maktab al-Islami.]

Dikutip dari:  ظاهرة ضعف  الإيمان   (Fenomena Lemahnya Iman) Syaikh Muhammad Sholeh al-Munajjid

Bersambung bagian 3 (akhir) in shâ Allâh 

Sabtu, 11 Juli 2020

Sabtu, Juli 11, 2020

Tanda-tanda Lemah Iman (1)



Ahlussunnah Waljamaah meyakini iman dapat berkurang dan bertambah. Iman bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang apabila melakukan maksiat. Seorang muslim mesti peka dengan tanda-tanda yang tampak sehingga dapat mengenali kondisi keimanannya. Lemahnya iman merupakan musibah bagi seorang muslim.

Maka sesungguhnya penyakit lemah iman memiliki gejala dan tanda-tanda, di antaranya:

1. Terjerumus dalam kemaksiatan dan melakukan perbuatan haram. 

Sebagian orang intens melakukan maksiat. Sebagian lagi hanya melakukan maksiat-maksiat tertentu saja. Keseringan melakukan maksiat akan merubahnya menjadi gaya hidup, sehingga hilang pandangan buruk maksiat dari hatinya secara bertahap, yang pada akhirnya sanggup menampakkan kemaksiatan itu, sebagaimana yang terdapat dalam hadits: 

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

"Setiap umatku dimaafkan (dosanya) kecuali orang-orang menampak-nampakkannya dan sesungguhnya diantara menampak-nampakkan (dosa) adalah seorang hamba yang melakukan amalan di waktu malam sementara Allah telah menutupinya kemudian di waktu pagi dia berkata, 'Wahai fulan semalam aku telah melakukan ini dan itu, ' padahal pada malam harinya (dosanya) telah ditutupi oleh Rabb-nya. Ia pun bermalam dalam keadaan (dosanya) telah ditutupi oleh Rabb-nya dan di pagi harinya ia menyingkap apa yang telah ditutupi oleh Allah'." [HR. al-Bukhari. Fatul bâri 10/486.]

2. Merasakan kalbu yang kaku dan keras. 

Sampai-sampai merasakan hatinya telah berubah menjadi batu keras yang tak dapat menyerap dan tidak terpengaruh oleh apapun. Allah -azzawajalla- berfirman: 

{ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُم مِّن بَعْدِ ذَٰلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَة..ً} (البقرة:٧٤)

"Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi." (QS.al-Baqarah:74) 

Pemilik hati yang kaku tidak terpengaruh oleh nasihat-nasihat kematian ataupun melihat orang mati dan jenazahnya. Bahkan meskipun dia termasuk yang mengusung jenazah dan menguruk kubur dengan tanah. Langkahnya di antara perkuburan seolah hanya di antara bebatuan. 

3. Tidak dapat sempurna dalam melakukan beribadah. 

Pikirannya selalu melayang-layang saat melaksanakan shalat, membaca al-Quran, membaca doa maupun ibadah lainnya. Tidak dapat mentadaburi dan merenungi makna-makna zikir. Membacanya sambil lalu dan dengan cara yang menjemukan jika telah dihafalnya. Sekalipun telah membiasakan diri berdoa dengan doa-doa tertentu pada waktu yang telah ditentukan oleh sunah, tetap saja dia tidak dapat khusyuk memahami makna-makna doa tersebut. Allah -subhanahu wata'âla- berfirman (dalam hadits qudsi): 

لا يقبل دعاء من قلب غافل 

"...tidak diterima doa dari hati/kalbu yang lalai lagi lengah." [HR. at-Turmudzi no.3479. Dalam Silsilah as-Sohihah no.594.]

4. Malas melakukan ketaatan dan ibadah dan cenderung melalaikan. 

Jika pun melaksanakan, hanyalah sekadar aktivitas kosong tanpa ruh. Allah -azzawajalla- mendeskripsikan orang-orang munafik dengan firmanNya: 

{وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى} (النساء: ١٤٢ٰ)

"...dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas..." (QS.an-Nisâ:142) 

Termasuk juga ketidakpedulian akan luputnya musim-musim kebaikan serta waktu-waktu ibadah. Ini menunjukkan akan tidak adanya perhatian mendapatkan pahala. Mengakhirkan ibadah haji padahal mampu, enggan berjihad padahal dalam keadaan lapang dan meninggalkan shalat berjamaah sehingga berhujung pada meninggalkan shalat Jumat. Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- bersabda: 

لَا يَزَالُ قَوْمٌ يَتَأَخَّرُونَ عَنْ الصَّفِّ الْأَوَّلِ حَتَّى يُؤَخِّرَهُمْ اللَّهُ فِي النَّارِ

"Masih terus saja suatu kaum meninggalkan saf pertama, hingga Allah akhirkan mereka ke neraka." [HR. Abu Dâwud no.679. Shahih at-Targhib no.510.]

Si penderita tidak sadar dengan teguran hatinya sewaktu tertidur saat masuk waktu shalat wajib, demikian pula ketika terluput melakukan shalat sunah rawatib atau meninggalkan wirid dari wirid-wiridnya. Dia tidak berhasrat untuk mengganti apa yang telah terluput itu. Demikianlah, dia menjadi terbiasa melalaikan segala yang dianggapnya sunah atau wajib kifayah (wajib dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Jika sebagiannya telah melaksanakan, maka yang lain sudah gugur kewajibannya, seperti pengurusan jenazah, mempelajari ilmu duniawiah dsb), atau bahkan sama sekali tidak menghadiri shalat 'Id (padahal sebagian ulama mengatakan wajib melaksanakannya), tidak shalat gerhana, tidak respons untuk menghadiri resepsi kematian dan menyalatinya. Dia tidak menginginkan pahala dan tidak merasa butuh. Kontras dengan orang-orang yang telah Allah deskripsikan dalam firman-Nya: 

{إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ} [الأنبياء : ٩٠]

"...Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami." (QS.al-Anbiyâ`:90) 

Di antara bentuknya yang lain adalah bermalas-malasan dalam melaksanakan ketaatan. Malas melaksanakan sunah rawatib, shalat malam, bersegera ke masjid, atau ibadah-ibadah lain semisal shalat dhuha. Jika ibadahibadah tersebut saja tidak terbetik dalam pikirannya, apatah lagi dengan shalat taubah atau shalat istikharah. 

5. Tidak lapang dada, hilang selera, terperangkap dalam ego bahkan seolah ada beban berat yang menghimpit. 

Akibatnya menjadi cepat emosi atau berkeluh kesah hanya karena urusan sepele. Merasa tertekan dengan tingkah orang di sekitarnya dan menjadi tidak toleran. Nabi -shalallahu alaihi wasalam- mendeskripsikan iman dengan sabdanya: 

الإيمان: الصبر والسماحة 

"Iman itu kesabaran dan toleran." [As-Silsilah as-Shahihah no.554, II/86.]

Beliau mendeskripsikan seorang mukmin dengan:

يألف ويؤلف ولا خير فيمن يألف ويؤلف 

"...beramah-tamah. Tidak ada kebaikan bagi yang tidak beramah-tamah." [Silsilah as-Shahihah no.427.]

6. Tidak peka/terpengaruh dengan bacaan al-Quran. 

 Tidak dengan janji-janji dan ancaman, tidak pula perintah dan larangan, maupun dengan penggambaran hari kiamat. Mereka yang lemah imannya, berpaling dari mendengar al-Quran. Jiwanya tidak sanggup konsisten membacanya. Ketika membuka al-Quran, hampir-hampir menutupnya kembali. 

7. Lalai dari mengingat Allah -azzawajalla- dan berdoa kepada-Nya -subhanahu wata'âla-. 

Sehingga berat ketika berzikir. Jika mengangkat tangan untuk berdoa, begitu cepat diturunkannya lagi kemudian berlalu. Allah mendeskripsikan orang munafik dalam firman-Nya: 

{وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا} [النساء :١٤٢]

"...dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali." (QS.an-Nisâ:142) 

8. Tidak murka jika kesucian Allah -azzawajalla- dinistai, karena api cemburu dalam kalbunya telah padam, sehingga tubuhnya tidak mampu melakukan pengingkaran, tidak pula beramar makruf nahi mungkar. 

Seumur-umur tidak pernah melakukan pembelaan terhadap Allah. Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam- mendeskripsikan kalbu seperti ini sebagai kalbu yang lemah, dalam hadisnya: 

تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَيُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ

"Fitnah (cobaan) dibentangkan kepada kalbu seperti keset, selembar demi selembar. Bagian manapun dari kalbu yang menyerapnya akan menjadi titik hitam."

Hingga menjadi seperti yang dikhabarkan Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam-: 

أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لَا يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلَّا مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ 

"Hitam dengan sedikit bintik putih, seperti kerucut yang miring tertelungkup, tidak mengetahui kebaikan dan tidak mengingkari kemungkaran, selain yang diterima oleh hawa nafsunya." [HR. Muslim no.144.]

Yang demikian itu karena telah luntur darinya cinta kebaikan dan benci kemungkaran. Hal itu yang menguasainya sehingga tidak ada yang mendorongnya untuk mengajak berbuat baik maupun mencegah kemungkaran. Bahkan ketika mendengar kemungkaran terjadi bisa jadi malah meridainya, sehingga dia pun mendapat dosa seperti orang yang menyaksikan namun membiarkannya. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah -shalallahu alaihi wasalam-: 

إِذَا عُمِلَتْ الْخَطِيئَةُ فِي الْأَرْضِ كَانَ مَنْ شَهِدَهَا فَكَرِهَهَا وَقَالَ مَرَّةً أَنْكَرَهَا كَانَ كَمَنْ غَابَ عَنْهَا وَمَنْ غَابَ عَنْهَا فَرَضِيَهَا كَانَ كَمَنْ شَهِدَهَا

"Jika keburukan dilakukan di bumi dan dia menyaksikan dan membencinya –dalam riwayat yang lain mengingkarinya- seperti orang yang tidak hadir. Dan siapa yang tidak menyaksikannya tetapi meridainya maka seperti menyaksikannya." [HR. Abu Dâwud no.4345. Lihat Shahih al-Jâmi' 689.]

Rida dengan perbuatan maksiat merupakan amal hati/kalbu yang menyisakan dosa seperti orang yang melihatnya. 


Dikutip dari:  ظاهرة ضعف  الإيمان   (Fenomena Lemahnya Iman) Syaikh Muhammad Sholeh al-Munajjid

bersambung ke bagian 2 in shâ Allâh