TITIAN SALAF

"Syiarkan Sunnah, Kikis Bid'ah". Mencukupkan Diri Dengan Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam Dengan Mengikuti Pemahaman Generasi Terbaik Para Sahabat Radhiyallahu’anhum

Breaking

Jumat, 12 Februari 2021

Jumat, Februari 12, 2021

Puasa Di Bulan Rajab

 


Pertanyaan

Apakah ada hadits tentang keutamaan tertentu pada bulan Rajab?

Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama

Bulan Rajab adalah salah bulan Haram (suci) sebagaimana Firman Allah Ta’ala terkait dengannya:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ  (سورة التوبة: 36)

"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang  lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At-Taubah: 36)

Bulan-bulan Haram adalah Rajab, Dzulqaidah, Dzulhijjah dan Muharram.

Diriwayatkan oleh Bukhari, 4662 dan Muslim, 1679 dari Abu Bakrah radhiallahu anhu dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا , مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ , ثَلاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ : ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ , وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

“Setahun itu ada dua belas bulan, diantaranya (ada) empat bulan Haram, tiga (bulan) berurutan, Dzulqaidah, Dzulhijjah dan Muharam serta Rajab Mudhar yang terdapat di antara (bulan) Jumadi Tsani dan Sya’ban.”

Bulan-bulan ini dinamakan bulan haram karena dua hal;

1.Karena pada bulan-bulan ini diharamkan berperang, kecuali musuh memulai (perang).

2.Sebagai penghormatan. Maksudnya jika ada perbuatan yang haram dilanggar, maka pada bulan-bulan ini bobotnya lebih berat dibandingkan pada bulan-bulan lainnya.

Oleh karena itu, Allah Ta’ala memperingatkan agar tidak terjerumus dalam kemaksiatan pada bulan-bulan ini, berdasarkan firmanNya: “Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” QS. At-Taubah: 36, meskipun melakukan kemaksiatan diharamkan dan dilarang pada bulan-bulan ini dan lainnya, akan tetapi pada bulan-bulan ini sangat diharamkan.

As-Sya’di rahimahullah berkata (dalam tafsirnya) pada hal. 373: “Firman Allah;

‘فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

"Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu."

Ada kemungkinan dhamir (kata ganti pada ayat tersebut) kembali kepada dua belas bulan. Dengan demikian, Allah menjelaskan bahwa bulan-bulan tersebut telah ditetapkan ketentuannya  bagi para hamba-Nya, agar mereka meramaikannya dengan ketaatan (kepadaNya) seraya bersyukur kepada Allah atas karunia yang Dia berikan kepadanya serta mengarahkannya untuk kebaikan para hamba dan agar tidak  melakukan perbuatan aniaya terhadap diri sendiri di dalamnya.

Ada kemungkinan dhamir (kata ganti pada ayat tersebut) kembali kepada empat bulan Haram. Ini berarati merupakan larangan khusus bagi mereka untuk berbuat zalim pada bulan-bulan itu, meskipun larangan berbuat zalim berlaku bagi setiap waktu.  Karena bobot keharamannya (di bulan haram) bertambah dan karena kezaliman pada (bulan-bulan haram) lebih berat dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya.”

Kedua,

Adapun puasa pada bulan Rajab, tidak ada ketetapan dari hadits yang shahih tentang keutamaan puasa dengan cara khusus atau suatu puasa apapun. Maka, apa yang dilakukan sebagian orang dengan mengkhususkan beberapa hari di (bulan rajab) dengan berpuasa seraya meyakini keutamaannya dibandingkan dengan (bulan-bulan) lain, adalah tidak ada asalnya dalam agama.

Memang ada sabda dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan dianjurkan berpuasa di bulan-bulan Haram (dan Rajab termasuk bulan Haram), sebagaimana Beliau sallallahu alaihi wa sallam bersabada:

صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ  (رواه أبو داود ، رقم 2428 وضعفه الألباني في ضعيف أبي داود)

“Berpuasalah di (bulan-bulan) Haram dan tinggalkanlah.”  (HR. Abu Daud, 2428 dan dilemahkan  oleh  Al-Bany dalam kitab Dhaif Abu Daud)

Hadits ini –kalaupun shahih- menunjukkan dianjurkannya berpuasa pada bulan-bulan Haram. Maka, barangsiapa berpuasa di bulan Rajab ini, lalu dia juga berpuasa di bulan-bulan Haram lainnya, maka  hal itu tidak mengapa. Sedangkan jika dikhusukan berpuasa pada bulan Rajab, maka tidak (dibolehkan).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam ‘Majmu’ Fatawa, 25/290: “Adapun  berpuasa di Bulan Rajab secara khusus, semua haditsnya adalah lemah, bahkan palsu. Sedikitpun tidak dijadikan landasan oleh para ulama. Dan juga bukan kategori hadits lemah yang dapat diriwayatkan dalam bab   amalan utama (fadha'ilul a'mal). Mayoritasnya adalah hadits-hadits palsu dan dusta. Terkait riwayat yang terdapat dalam Musnad dan (kitab hadits) lainnya dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, bahwa  beliau memerintahkan untuk berpuasa pada bulan-bulan Haram yaitu Rajab, Dzulqaidah, Dzulhijjah dan Muharram, yang dimaksud adalah anjuran berpuasa pada empat bulan semunya, bukan khusus Rajab.”

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Semua hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada sebagian malamnya adalah kebohongan yang diada-adakan.” (Al-Manar Al-Munif, hal. 96)

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab Tabyinul Ujab, hal. 11: “Tidak ada hadits shahih yang layak dijadikan hujjah tentang keutamaan bulan Rajab, tidak juga dalam puasanya atau puasa tertentu , begitu juga (tidak ada) qiyamullail tertentu di dalamnya."

Syekh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata dalam kitab Fiqih Sunnah, 1/383: “Puasa Rajab tidak ada keutamaan tambahan dibandingkan dengan (bulan-bulan) lainnya. Hanya saja ia termasuk bulan Haram. Tidak ada dalam sunnah yang shahih bahwa berpuasa mempunyai keutamaan khusus. Adapun (hadits) yang ada tentang hal itu, tidak dapat dijadikan hujjah.”

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya tentang puasa dan qiyam pada malanya di hari kedua puluh tujuh di bulan Rajab, maka beliau menjawab:  ”Puasa dan qiyam pada malam di hari kedua puluh tujuh di bulan Rajab  serta mengkhususkan untuk itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Majmu  Fatawa Ibnu Utsaimin, 20/440)


Rabu, 03 Februari 2021

Rabu, Februari 03, 2021

Hukum Ketinggalan Rukun Shalat Dalam Shalat Berjamaah


Ada 2 macam ketinggalan  rukun shalat ketika mengikuti imam (shalat jamaah)

1. Ketinggalan karena ada sebab

2. Ketinggalan tanpa sebab

Jenis pertama adalah tertinggal karena ada alasan atau sebab. Maka dia harus menyempurnakan ketertinggalannya, kemudian dia mengikuti imam, dan tidak ada kesalahan padanya, walaupun tertinggal satu atau dua rukun shalat. Jika seseorang terganggu atau kehilangan fokus, atau tidak mendengarkan imam sampai imam telah menyelesaikan satu atau dua rukun shalat sebelumnya, maka dia harus menyempurnakan hal-hal yang tertunda olehnya dan kemudian mengikuti imam, kecuali jika Imam sudah berada kembali pada posisi yang sama dengannya [pada raka'at yang berbeda], dalam hal ini dia tidak boleh mengerjakan ketertinggalannya melainkan dia harus tetap bersama dengan imam. Dia mendapat satu raka'at sah yang didapat dari dua raka'at imam, yaitu raka'at dimana dia tertinggal dan raka'at dimana imam mencapai posisi yang sama dengannya. 

Misalnya:

Seorang laki-laki sedang shalat bersama imam dan imam rukuk, bangkit dari rukuk, sujud, duduk antara dua sujud, sujud untuk kedua kalinya dan berdiri, tetapi orang yang shalat di belakangnya tidak mendengar pengeras suara kecuali pada raka'at kedua, karena listrik terputus. Misalnya kita anggap bahwa ini terjadi pada waktu shalat Jumat, maka dia mendengar imam membaca al-Fatihah, kemudian listrik terputus, dan imam menyelesaikan raka'at pertama, tetapi orang tersebut tetap berdiri karena mengira bahwa imam belum rukuk di raka'at pertama, kemudian dia mendengar imam membaca 

"هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ" [ QS. Al-Ghaashiyah 88: 1 ]. 

Kita katakan: Anda harus tetap bersama dengan imam, jadi raka'at kedua untuk imam adalah sisa rakaat pertama untuk Anda. Kemudian ketika imam mengucapkan tasleem/salam, Anda harus meneruskan raka'at kedua. Para ulama mengatakan: maka orang ini yang shalat di belakang imam akan mendapat satu raka'at yang dia peroleh dari dua raka'at imamnya, karena mengikuti imam pada sebagian rakaat pertama dan sebagian rakaat kedua.

Jika dia menyadari bahwa dia telah tertinggal sebelum imam berada kembali pada posisi yang sama [pada raka'at kedua], dia harus mengerjakan ketertinggalannya dan mengikuti imam. 

Sebagai contoh:

Seorang laki-laki dalam posisi berdiri - shalat - bersama imam, dan imam itu rukuk tetapi makmum tidak mendengar bahwa imam sedang rukuk. Ketika imam berkata سَمِعَ اللهُ لمَن حمِدَه , orang yang shalat di belakangnya mendengar itu, maka kita katakan padanya: rukuk dan bangun/iktidal, dan ikuti imam, dan Anda akan mendapatkan raka'at tersebut, karena keterlambatan di sini karena ada sebab.

Jenis kedua adalah ketinggalan tanpa ada sebab. 

Ketinggalan dalam rukun shalat yaitu terlambat dalam mengikuti imam, tetapi tetap mendapati imam pada rukun yang sama. Misalnya, imam rukuk ketika Anda masih memiliki satu atau dua ayat tersisa dari surat yang Anda baca, jadi Anda tetap berdiri untuk menyelesaikan bacaan Anda, dan kemudian Anda rukuk dan menyusul imam yang sedang rukuk. Dalam hal ini raka'at itu sah, tetapi apa yang Anda lakukan bertentangan dengan Sunnah, karena yang diperintahkan adalah supaya bergerak untuk rukuk ketika imam sudah sampai pada posisi rukuk dan tidak terlambat mengikuti imam. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam bersabda:

إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا

"Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti, jika ia shalat dengan berdiri maka shalatlah kalian dengan berdiri. Jika ia rukuk maka rukuklah kalian. [HR. Bukhari: 648]

Tertinggal rukun shalat adalah dimana imam satu langkah/rukun di depan Anda (dengan kata lain Anda satu langkah/rukun di belakang imam), misalnya imam rukuk dan bangkit sebelum Anda rukuk. Para fuqaha' (semoga Allah mengampuni mereka) berpendapat: jika Anda tertinggal dalam rukuk maka shalatmu tidak sah, sama seperti jika Anda melakukan rukuk mendahului imam. Jika Anda tertinggal dalam sujud maka menurut apa yang dikatakan para fuqaha’ shalat Anda sah, karena tertinggal rukun shalat shalat selain rukuk.

Tetapi pendapat yang benar adalah bahwa jika seseorang tertinggal di belakang imam dalam setiap rukun shalat tanpa alasan, maka shalatnya tidak sah, apakah itu dalam rukuk atau rukun shalat lainnya. Berdasarkan hal tersebut, jika imam bangun dari sujud pertama dan orang yang shalat di belakang imam ini berdo’a dalam sujud dan meneruskan do'anya sampai imam sujud untuk kedua kalinya, maka shalatnya batal, karena dia tertinggal rukun shalat. Jika imam satu langkah/rukun di depannya, lalu bagaimana dia bisa mengikutinya?

Diterjemahkan oleh Abu Dihya Muhammad dari sumber:

Islamqa.info