TITIAN SALAF

"Syiarkan Sunnah, Kikis Bid'ah". Mencukupkan Diri Dengan Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam Dengan Mengikuti Pemahaman Generasi Terbaik Para Sahabat Radhiyallahu’anhum

Breaking

Senin, 01 November 2021

Senin, November 01, 2021

Tidak Boleh Memvonis Orang Lain Akan Masuk Neraka Kecuali dengan Syarat


Pertanyaan:

Seorang pemudi terpelajar yang beragama Budha baru masuk Islam setelah menjalani studi yang mendalam tentang Islam yang berlangsung selama tujuh tahun. Sekarang dia menjadi aktivis dakwah Islam. Dia telah banyak mengislamkan orang, baik dari kaum laki-laki maupun perempuan. Pada salah satu perjalanannya bersama beberapa orang yang telah mendapat hidayah untuk mengenalkan Islam dan mendakwahkannya, di suatu tempat yang terpelosok, salah seorang yang beragama Budha melontarkan pertanyaan berikut kepadanya: "Bagaimana mungkin kalian memutuskan orang yang bukan beragama Islam bahwa dia akan masuk neraka sementara kami di tempat ini tidak pernah mendengar tentang Islam kecuali sekarang. Apakah pendahulu kami masuk neraka? Apakah dosa mereka sementara kalian orang Islam tidak pernah menyampaikan agama yang benar kepada kami?" Saudari yang sudah masuk Islam ini menghubungi saya dan meminta kepada kami jawaban yang jelas tentang pertanyaan laki-laki yang telah masuk Islam tersebut.

Jawab:

Seorang Islam tidak boleh memvonis bahwa orang lain masuk neraka kecuali dengan syarat yaitu telah sampai kepada mereka dakwah Al-Quran dan penjelasan maknanya dari para dai dengan bahasa orang yang menjadi objek dakwah berdasarkan firman Allah Azza Wa Jalla:

وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَٰذَا الْقُرْآنُ لِأُنذِرَكُم بِهِ وَمَن بَلَغَ

  Dan Al-Qur`an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur`an (kepadanya). Al-An'am: 19

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: 

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا

 Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul Al-Isra': 15

Oleh karena itu, orang non-muslim bila dakwah Islam sudah sampai kepadanya, namun tetap bersikeras dengan kekufurannya, dia tergolong orang yang masuk neraka, berdasarkan dua ayat di atas. Dan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam: 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

 Dari Abu Hurairah dari Rasulullah ﷺ, bahwa beliau bersabda: Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada dalam genggaman tangan-Nya, tidaklah seorang pun dari umatku yang mendengar (seruan)ku, baik seorang Yahudi maupun seorang Nasrani, kemudian ia mati dalam keadaan tidak beriman dengan risalah yang aku bawa melainkan ia termasuk penduduk neraka.Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya.

Dan dalil tentang makna ini dari Al-Quran dan Sunnah jumlahnya sangat banyak.

Adapun orang yang belum sampai dakwah kepadanya dalam bentuk yang bisa dijadikan alasan iqamatul/ditegakkan hujjah terhadapnya, maka urusannya diserahkan kepada Allah 'Azza wa Jalla. Perkataan ulama yang paling benar dalam masalah ini adalah: mereka akan diuji pada hari kiamat. Barangsiapa yang mematuhi perintah akan masuk surga dan yang tidak patuh akan masuk neraka. Makna ini telah dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Katsir Rahimahullah saat menafsirkan firman Allah 'Azza wa Jalla: 

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا

 Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul Al-Isra': 15

Al-Allamah Ibnu al-Qayyim Rahimahullah dalam kitabnya Thariqul Hijratain (Jalan Dua Hijrah) di akhir judul Thabaqatul Mukallafin (Tingkatan Para Mukallaf). Kami harap Anda merujuk kepada dua buku itu untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Disadur dari: https://www.alifta.gov.sa/ind/PermanentCommitee/Pages/default.aspx?cultStr=id&View=Page&PageID=554&PageNo=1&BookID=3


Kamis, 21 Oktober 2021

Kamis, Oktober 21, 2021

Hukum Shalat Diimami Seorang Perokok


Soal:

Kami memiliki enam kelas setiap hari, lalu kami shalat Zuhur dan kami memiliki macam-macam orang yang mengimami kami shalat. Beberapa dari mereka mengisap rokok, ada mengisap shisha, dan ada yang berambut gondrong. Apa hukumnya orang-orang ini mengimami shalat? Apakah diperbolehkan shalat di belakang mereka?

Jawab:

Alhamdulillah.

Ya, shalatnya sah, tapi lebih baik menunjuk imam orang yang paling baik bacaan Al Qur'annya, dan yang memiliki pemahaman terbaik tentang Islam. Itu lebih baik, karena Nabi (saw) bersabda:

يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ

"Yang berhak menjadi imam atas suatu kaum adalah yang membaca/menguasai Al-Qur'an paling baik." (HR. Muslim, No. 673). Arti dari orang yang membaca Al Qur'an yang terbaik adalah orang yang membacanya dan beramal sesuai dengan Al Qu’an, karena tidak ada ada nilainya baik dalam membacanya namun tidak beramal sesuai dengan Al Quran. Jika seseorang ditunjuk untuk menjadi imam, dan di antara jemaah ada orang lain yang membaca Al-Qur'an lebih baik dari dia, maka hal itu tidak benar, seperti yang tersirat dalam hadits.

Imam Ahmad menyebutkan dalam bukunya Risaalat al-Sunniyah: Jika seseorang mengimami orang dalam shalat dan di antara mereka ada seseorang yang lebih baik dari dia, maka mereka akan mengalami kemunduran. Jadi lebih baik bagi Anda untuk diimami dalam shalat oleh orang yang paling shaleh, yang memiliki pemahaman terbaik tentang Islam dan yang memiliki pengetahuan paling banyak tentang Al-Qur'an. Tetapi jika seandainya orang yang merokok ini atau mencukur jenggotnya atau yang merokok dengan shisa atau yang membiarkan rambutnya gondrong maju dan mengimami Anda dalam shalat, maka kita katakan: shalatnya sah, dan Anda tidak perlu mengulanginya, karena dia seorang muslim, namun shalatnya itu tidak sempurna.

Wallahu a’lam

Diterjemahkan dari: islamqa.info

Sabtu, 16 Oktober 2021

Sabtu, Oktober 16, 2021

Hukum Memakai Gelang, Kalung, Gantungan Mobil Untuk Tolak Bala dan Penangkal Penyakit

Gambar hanya sebagai ilustrasi 

Pertanyaan:

Apa hukum memakai gelang/kalung atau benang di tangan atau leher, atau digantung di kendaraan (mobil) dan lainnya untuk menolak ‘ain (hasad) atau menolak bala dan menghilangkannya (bala)?

Jawab:

Ini  termasuk  perbuatan  syirik. Berdasarkan  sabda  Nabi Shallallāhu  ‘Alaihi  Wa sallam,

مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَك

"Siapa  saja  yang  mengalungkan  jimat maka  dia  telah  berbuat  syirik." (HR.  Ahmad: 16781 dalam Musnadnya)

Dalam sebuah riwayat disebutkan:

أَنَّ أَبَا بَشِيرٍ الْأَنْصَارِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَخْبَرَهُ
أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ حَسِبْتُ أَنَّهُ قَالَ وَالنَّاسُ فِي مَبِيتِهِمْ فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَسُولًا أَنْ لَا يَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلَادَةٌ مِنْ وَتَرٍ أَوْ قِلَادَةٌ إِلَّا قُطِعَتْ

Abu Basyir Al Anshoriy radhiallahu'anhu mengabarkan kepadanya bahwa dia pernah bersama Rasulullah ﷺ dalam suatu perjalanan beliau. 'Abdullah berkata, "Aku menduga dia berkata, "Dan ketika itu orang-orang sedang bermalam di tempat mereka", lalu Rasulullah ﷺ mengutus seorang utusan agar tidak membiarkan pada leher-leher unta seutas talipun yang digunakan untuk mengikat panah atau seuatas kalung melainkan harus dipotong". (HR. Bukhari: 2783)

Sabda beliau Shallallāhu ‘Alaihi Wa sallam,

مَنْ عَقَدَ لِحْيَتَهُ أَوْ تَقَلَّدَ وَتَرًا أَوْ اسْتَنْجَى بِرَجِيعِ دَابَّةٍ أَوْ عَظْمٍ فَإِنَّ مُحَمَّدًا بَرِيءٌ مِنْهُ

"Barangsiapa mengikat jenggotnya atau mengenakan kalung dari tali busur atau beristinja dengan kotoran hewan atau tulang, maka sungguh Muhammad telah berlepas diri darinya." (HR. Nasai: 4981)

Sabda beliau Shallallāhu ‘Alaihi Wa sallam,

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

"Sesungguhnya mantra, jimat, dan guna-guna adalah perbuatan syirik." (HR. Abu Dawud: 3385)

Sabda beliau Shallallāhu ‘Alaihi Wa sallam, "Barangsiapa mengalungkan jimat maka Allah tidak akan menyempurnakan (kesembuhan)nya." (HR. Ibnu Hibban dalam Ṣaḥīḥnya)

Sungguh rugi orang yang bergantung kepada mitos dan takhayul. Dalam sebuah hadis disebutkan, "Barangsiapa bergantung kepada sesuatu, maka dia akan diserahkan kepada sesuatu itu."

Tiwalah adalah sihir yang dibuat dengan keyakinan mampu membuat seorang suami dicintai oleh istrinya atau memisahkan keduanya. Mereka juga membuat sihir ini untuk menimbulkan kebencian di antara orang-orang yang saling mencintai dan para kerabat. Tama`im adalah sesuatu yang digantungkan pada anak-anak sebagai penangkal gangguan 'ain dan hasad.

Makna tamimah menurut Al Munziri  adalah manik-manik (yang diuntai),  biasa  dikalungkan oleh orang  jahiliah  dengan  keyakinan  mampu melindungi  mereka  dari  penyakit.  Perbuatan  ini adalah  kebodohan  dan  kesesatan, karena benda  ini bukan  merupakan  sebab,  baik  secara  syariat maupun  takdir.  Dan  ini  mencakup  juga  tindakan mengenakan  gelang  dan  mengalungkan  kain  pada manusia, hewan,  mobil, dan rumah.

Dinukil dari buku: "Akidah Empat Imam raḥimahumullāh" hal 67 - 69



Senin, 12 Juli 2021

Senin, Juli 12, 2021

Apa Bekal Yang Sudah Kamu Siapkan?



Apa yang sudah dipersiapkan ketika kiamat semakin dekat?


حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ قَالَ حَدَّثَنِي حُسَيْنُ بْنُ وَاقِدٍ قَالَ حَدَّثَنِي ثَابِتٌ الْبُنَانِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ
أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى السَّاعَةُ قَالَ مَا قَدَّمْتَ لَهَا قَالَ حُبَّ اللَّهِ وَرَسُولِهِ قَالَ أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

Telah bercerita kepada kami Zaid bin Al-Hubab berkata, telah bercerita kepadaku Husain bin Waqid berkata, telah bercerita kepadaku Tsabit al-Bunani berkata, telah bercerita kepadaku Anas bin Malik, seseorang berkata, wahai Rasulullah, kapan kiamat? Rasulullah ﷺ) bersabda, "Apa yang kau telah persiapkan?". Dia menjawab, cinta Allah dan rasul-Nya. Rasulullah ﷺ menjawab, " Kamu bersama yang kau cintai". [HR Ahmad: 12574]

Sahabat Nabi Radhyallahu'anhum adalah pribadi-pribadi dengan pandangan maju dan cerdas

Diantara tanda-tanda kecerdasan para sahabat adalah bertanya bagaimana ibadah harus dilakukan ketika zaman fitnah [fitnah dajjal] datang.

يَا عِبَادَ اللَّهِ اثْبُتُوا قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لُبْثُهُ فِي الْأَرْضِ قَالَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا يَوْمٌ كَسَنَةٍ وَيَوْمٌ كَشَهْرٍ وَيَوْمٌ كَجُمُعَةٍ وَسَائِرُ أَيَّامِهِ كَأَيَّامِكُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَذَلِكَ الْيَوْمُ الَّذِي هُوَ كَسَنَةٍ أَيَكْفِينَا فِيهِ صَلَاةُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ قَالَ لَا اقْدُرُوا لَهُ قَدْرَهُ

Wahai hamba Allah, bersikap teguhlah kalian (berpegang teguh atas islam dan berhati-hati dari fitnah Dajjal). Kami bertanya "Wahai Rasulullah, berapa lama Dajjal tinggal di muka bumi ? "Empat puluh hari" Tukas Nabi. Sehari ada yang bagaikan setahun, ada yang bagaikan sebulan, ada yang bagaikan sejumat (sepekan), ada yang bagaikan hari-hari biasa, bagaikan hari yang kalian kenal. Kami semua bertanya " Wahai Rasulullah, sehari yang bagaikan setahun, apakah kami cukup shalat sehari semalam saja ? Rasulullah menjawab "Oh tidak, namun taksirlah saja dengan cara seksama." [HR.Ahmad: 16971]

Tentukan prioritas

Tidak terlalu penting banyak terlibat dalam kasak kusuk, berita yang sedang viral, menghabiskan waktu untuk situasi rusuh saat ini dan mungkin situasi bergejolak di masa yang akan datang.
Jauh lebih penting mempersiapkan diri ketika menjumpai banyaknya fitnah2 di akhir zaman dengan bekal ilmu supaya tidak terbawa arus fitnah di akhir zaman tersebut.
Sesuatu yang dikhawatirkan adalah bahwa seseorang merasa perlu terlibat dalam suatu huru hara sehingga dia menenggelamkan diri masuk terlalu jauh dalam gejolak tersebut namun berakhir penyesalan. Bisa saja karena sebenarnya dia tidak punya ilmu tentang masalah tersebut, atau terburu-buru dalam menghukumi masalah tersebut.

Nasehat dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang Mulia ketika menghadapi fitnah (Dajjal).

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ سَمِعَ بِالدَّجَّالِ فَلْيَنْأَ مِنْهُ فَإِنَّ الرَّجُلَ يَأْتِيهِ وَهُوَ يَحْسِبُ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ فَلَا يَزَالُ بِهِ لِمَا مَعَهُ مِنْ الشُّبَهِ حَتَّى يَتَّبِعَهُ

Dari 'Imran bin Hushain dari Nabi ﷺ beliau bersabda, "Barangsiapa mendengar Dajjal, maka menjauhlah darinya karena seseorang yang menemuinya akan mengira bahwa dia orang beriman, dan dia terus seperti itu hingga orang tersebut mengikutinya." [HR Ahmad: 19029]

Seseorang yang terjerumus sehingga akhirnya mengikuti Dajjal pada awalnya merasa bahwa dia mampu lolos dari fitnah Dajjal namun pada akhirnya dia malah menjadi pengikut Dajjal.

Kalau sekarang kita tidak mampu lolos dari fitnah2 yang banyak di sekitar kita bagaimana kita akan lolos dari fitnah Dajjal. Yang mana fitnah Dajjal adalah fitnah terbesar, terberat bagi manusia.

رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا بَيْنَ خَلْقِ آدَمَ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ خَلْقٌ أَكْبَرُ مِنْ الدَّجَّالِ

Rasulullah ﷺ bersabda, "Tidak ada wujud manusia sejak Adam diciptakan hingga terjadinya kiamat yang lebih besar dari Dajjal." [HR Muslim: 5239]

Dalam riwayat lain disebutkan

  قَالَ
وَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَاللَّهِ مَا بَيْنَ خَلْقِ آدَمَ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ أَمْرٌ أَعْظَمُ مِنْ الدَّجَّالِ

[Hisyam bin 'Amir] berkata; saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, "Sejak Adam dicipta sampai terjadi hari kiamat, tidak ada perkara yang lebih besar daripada Dajjal." [HR Ahmad: 15666]

Wallahu Ta'ala A'lam, semoga Allāh jaga dan selamatkan kita dari fitnah akhir Zaman dan fitnah Dajjal. Aamiin..

Sabtu, 10 Juli 2021

Sabtu, Juli 10, 2021

Tujuh Dosa Besar Yang Membinasakan. Dosa Besar Yang Pertama Yaitu Syirik

 


Kabair terbesar adalah syirik, mempersekutukan Allah. Syirik ada dua;

Pertama menjadikan sesuatu sebagai tandingan bagi Allah dan atau beribadah kepada selain-Nya, baik itu berupa batu, pohon, matahari, bulan, nabi, guru, bintang, raja, atau pun yang lain. Inilah syirik besar yang tentangnya Allah berfirman:

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ


Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nisa': 48 dan 116)

إِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ


Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (Luqman: 13)

 

إِنَّهُۥ مَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِ ٱلْجَنَّةَ وَمَأْوَىٰهُ ٱلنَّارُ


Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. (Al-Maidah: 72)

Dan masih banyak lagi ayat yang berhubungan dengan masalah ini. Barangsiapa mempersekutukan Allah lalu mati dalam keadaan seperti itu sungguh ia termasuk penghuni neraka. Seperti halnya seseorang yang beriman kepada Allah lalu mati dalam keadaan seperti itu maka ia termasuk penghuni surga, walaupun mungkin diadzab di neraka terlebih dulu. Rasulullah bersabda,

أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ قُلْنَا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ فَمَا زَالَ يَقُولُهَا حَتَّى قُلْتُ لَا يَسْكُتُ

Maukah kalian aku beritahukan apa kabair yang paling besar?” (Beliau mengulang tiga kali) Para sahabat menjawab; "Tentu wahai Rasulullah." Lalu Rasulullah bersabda: "Yaitu menyekutukan Allah dan mendurhakai kedua orang tua." -ketika itu beliau tengah bersandar, kemudian duduk lalu melanjutkan sabdanya: "Perkataan dusta dan kesaksian palsu, perkataan dusta dan kesaksian palsu." Beliau terus saja mengulanginya hingga saya mengira beliau tidak akan berhenti." [HR. Bukhariy: 5519]

Rasulullah bersabda, “Jauhilah tujuh perkara yang memusnahkan.” Beliau menyebutkannya dan diantaranya adalah syirik. 

Beliau juga bersabda:

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

"Barangsiapa mengganti agamanya (murtad) bunuhlah ia. [HR. Ibnu Majah: 2526]

 

Kedua, menyertai amal dengan riya'. 

Yang dimaksud riya’ adalah melakukan suatu amalan agar orang lain bisa melihatnya kemudian memuji dirinya. Termasuk ke dalam riya’ yaitu sum’ah, yakni melakukan suatu amalan agar orang lain mendengar apa yang kita lakukan, sehinga pujian dan ketenaran pun datang.

Allah berfirman, "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabbnya." (Al-Kahfi: 110)

Maksud dari janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabbnya' hendaknya tidak menyertakan riya' bersama amalnya. Di dalam musnad Imam Ahmad Rahimahullah disebutkan tentang sabda Rasulullah :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ قَالَ الرِّيَاءُ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ يَوْمَ تُجَازَى الْعِبَادُ بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ بِأَعْمَالِكُمْ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً

Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah syirik kecil." Mereka bertanya: Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah ? Rasulullah bersabda, "Riya`, Allah 'Azza wa Jalla berfirman kepada mereka pada hari kiamat saat orang-orang diberi balasan atas amal-amal mereka: Temuilah orang-orang yang dulu kau perlihat-lihatkan di dunia lalu lihatlah apakah kalian menemukan balasan di sisi mereka?" [HR. Ahmad: 22528]

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ فَمَنْ عَمِلَ لِي عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ غَيْرِي فَأَنَا مِنْهُ بَرِيءٌ وَهُوَ لِلَّذِي أَشْرَك

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda, "Allah 'Azza wa Jalla berfirman; 'Aku adalah Dzat yang tidak membutuhkan sekutu, maka barangsiapa mengerjakan suatu amalan dengan menyertakan sekutu selain diri-Ku, maka Aku berlepas diri darinya, dan ia milik sekutu yang disertakannya itu." [HR Ibnu Majah: 4192]

 

رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ قَامَ مَقَامَ رِيَاءٍ وَسُمْعَةٍ رَايَا اللَّهُ تَعَالَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَسَمَّعَ

Rasulullah bersabda, "Barangsiapa berdiri ditempat riya' dan sum'ah, Allah akan memperlihatkan dan menyiarkan aibnya pada hari kiamat." [HR Ahmad: 21290]

 

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ

Rasulullah bersabda, "Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan pahala melainkan hanya rasa lapar dan berapa banyak orang yang shalat malam tidak mendapatkan apa-apa selain begadang." [HR Ibnu Majah: 1680]

Maksudnya jika puasa dan shalat dikerjakan bukan untuk Allah maka tidak ada pahalanya. 

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman 

{وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَّنثُورًا} [الفرقان : 23]

Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (Al Furqan: 23)

Maksudnya amal-amal yang dikerjakan untuk selain mengharapkan wajah Allah, Allah membatalkan pahalanya serta menjadikannya bagai debu yang berterbangan, yaitu debu yang dapat dilihat dari sebuah celah di mana cahaya matahari masuk melaluinya.

Para ahli hikmah ditanya tentang orang yang ikhlas, mereka menjawab, ''Yaitu yang menyembunyikan kebaikan-kebaikannya seperti halnya menyimpan keburukan-keburukannya."

Ada pula yang ditanya tentang puncak ikhlas, menjawab, "Hendaknya kamu tidak menyukai pujian dari manusia." Fudhail bin Iyadh berkata, "Meninggalkan amal karena manusia itu riya', sedangkan mengerjakannya karena mereka itu syirik. Ikhlas adalah apabila Allah menjagamu dari keduanya."

Ya Allah, jagalah kami dari keduanya dan ampunilah kami.

--------------------------------------------------------------------------

Mangambil faedah dari buku Imam Adz–Dzahabi: (Dosa-dosa besar – Penjabaran Tuntas 70 Dosa Besar Menurut Al Qur’an dan As Sunnah, Penerbit: Pustaka Arafah – Solo Cetakan V, Mei 2007)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sabtu, 05 Juni 2021

Sabtu, Juni 05, 2021

Hukum Orang yang Meninggalkan Salat dan Hukum Qadha Shalat yang Ditinggalkan

 


Al-Lajnah ad-Daa'imah (Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa) Kerajaan Saudi Arabia ditanya mengenai hukum meninggalkan shalat fardhu.

Pertanyaan Pertama dari Fatwa Nomor:18164

Pertanyaan:

Saya pernah membaca di salah satu buku bahwa orang yang meninggalkan salat dihukumi kafir, tidak boleh menikah dengan orang Islam, tidak boleh dikuburkan di perkuburan umat Islam, dan tidak boleh disalatkan ketika wafat. Lalu, apakah orang yang sedang lalai terhadap ketaatan dan dalam kondisi durhaka kepada Allah hanya sementara, sama statusnya dengan orang yang melakukan perbuatan durhaka lainnya terhadap perintah agama?

Jawaban:

Menurut pendapat terkuat di kalangan ulama, status orang yang sengaja meninggalkan salat adalah kafir, sekalipun dia tidak mengingkari kewajibannya. Adapun jika dia sudah mengingkarinya, maka dia dianggap kafir menurut ijmà para ulama umat Islam. Ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam, "Perbedaan antara seorang hamba (muslim) dengan kafir dan syirik adalah meninggalkan salat." Hadits riwayat Muslim. Ada juga sabda Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam,  "Perjanjian di antara kami dan mereka (umat) adalah salat. Siapa yang meninggalkannya, maka sungguh dia telah kafir." Hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan para penyusun empat kitab Sunan (karya Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah) dengan jalur sanad yang sahih. Allah Ta`ala juga berfirman terkait dengan penghuni neraka,  "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?"(42) Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan salat". [1]

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

 

Pertanyaan dari Fatwa Nomor:16974

Pertanyaan:

Apa hukum orang yang meninggalkan salah satu salat fardu--misalnya salat subuh--sementara dia masih mengakui bahwa salat itu hukumnya wajib, dan meninggalkannya hanya karena malas?Apakah orang tersebut memperoleh pahala atas empat salat lain yang dia lakukan, dan hanya mendapat siksa atas satu salat yang dia tinggalkan? Apakah dia juga mendapat pahala atas amal ibadah lain yang dia lakukan, seperti berbakti pada orang tua, menyambung silaturrahim, dan kebaikan lainnya?

Jawaban:

Melaksanakan salat lima waktu secara tepat waktu adalah suatu kewajiban, sebagaimana firman Allah Ta'ala, Peliharalah segala salat(mu), dan (peliharalah) salat wusthaa. [2] dan Dan orang-orang yang memelihara salatnya. [3]. Sesungguhnya meninggalkan satu salat fardu sama dengan meninggalkan seluruhnya. Dengan demikian, salat-salatnya yang lain tidak diterima. Begitu pula dengan amal ibadah lain, tidak akan diterima sampai dia melaksanakan salat dan memperhatikan ketepatan waktu pelaksanaannya, sekalipun dia masih mengakui kewajiban salat tersebut. Jadi, sekadar pengakuan bahwa salat itu wajib tidak dapat menggugurkan kewajibannya. Perlu diketahui bahwa meninggalkan salat dengan sengaja dapat membuat seseorang dinyatakan keluar dari agama Islam meskipun dia masih mengakui bahwa salat itu wajib. Demikian menurut pendapat yang terkuat di kalangan ulama, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,  "(Perbedaan) antara seorang (muslim) dengan kafir dan syirik adalah meninggalkan salat." Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab "Shahih"-nya. Dan, berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,  "Perjanjian di antara kami dan mereka adalah salat. Siapa yang meninggalkannya, maka sungguh dia telah kafir." Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan empat penyusun kitab-kitab "Sunan" dengan derajat sanad yang sahih.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.


Pertanyaan Keempat dari Fatwa Nomor:19544

Pertanyaan:

Seringkali saya meninggalkan salat dan tidak saya qadha. Sebagian lagi saya lakukan tanpa bersuci. Sementara itu saya sudah lupa dengan salat-salat tersebut. Apakah saya harus melakukan qadha, dan bagaimana tata caranya?

Jawaban:

Anda mesti bertobat dengan sungguh-sungguh dari semua yang telah berlalu, serta dianjurkan untuk memperbanyak salat dan ibadah sunnah, juga tunduk di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala sambil mengharapkan ampunan-Nya. Anda juga harus menghabiskan sisa umur Anda dengan menjaga pelaksanaan salat tepat pada waktunya dan memperhatikan betul-betul. Semoga Allah memaafkan dan menerima tobat Anda. Allah Ta'ala berfirman, Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. [4] dan berfirman,  Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. [5]. Selain itu, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,  "Tobat itu menghilangkan kesalahan sebelumnya." Anda hanya cukup bertobat dan tidak perlu mengganti salat-salat yang telah Anda tinggalkan dengan sengaja. Sebab, meninggalkan salat dengan sengaja merupakan perbuatan kufur tertinggi, dan sebagai tebusannya adalah bertobat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Kamis, 13 Mei 2021

Kamis, Mei 13, 2021

Berjabat Tangan Dengan Non - Mahram Menurut Mazhab Yang Empat

 


Pertanyaan

Saya ingin jawaban rinci tentang hukum laki-laki berjabat tangan dengan wanita, dan pandangan keempat imam dan jumhur ulama tentang hal itu

Jawab

Pertama:

Laki-laki yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tidak diperbolehkan memegang tangan wanita yang tidak halal baginya atau bukan salah satu mahramnya. Siapapun yang melakukan itu telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri (berdosa).

Diriwayatkan bahwa Ma'qil ibn Yassar berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya salah seorang diantara kalian jika ditusuk dengan jarum dari besi , itu lebih baik baginya daripada menyentuh seorang wanita yang bukan mahramnya”

Diriwayatkan oleh al-Tabaraani di dalam al-Kabir, 486. Syekh al-Albaani berkata dalam Sahih al-Jaami', 5045, bahwa hadits ini adalah shahih.

Satu hadits ini saja sudah cukup untuk mengingatkan (sebagai peringatan) dan supaya menaati Allah Subhanahu wa ta'ala, karena mengandung makna bahwa menyentuh wanita (yang bukan mahram) dapat mengarah pada fitnah dan maksiat.

Diriwayatkan bahwa 'Aisyah istri Nabi , bertanya, "Apabila para wanita yang beriman hijrah kepada Rasulullah , mereka selalu diuji sebagaimana dalam firman Allah 'Azza wa Jalla: '(Hai nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan 'janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina …) ' (QS. Mumtahanah: 12). 'Aisyah berkata, "Siapa yang memegang teguh janji-janji tersebut dengan setia, berarti mereka lulus dari ujian, dan apabila mereka telah mengikrarkan janji tersebut dengan ucapan mereka di hadapan Rasulullah , maka Rasulullah bersabda kepada mereka, "Pergilah, sesungguhnya kalian telah berbaiat kepadaku." Demi Allah, Rasulullah tidak pernah memegang tangan seorang wanita pun, beliau membaiat mereka dengan ucapan. Aisyah melanjutkan, "Demi Allah, Rasulullah tidak pernah mengambil sumpah kepada kaum wanita kecuali atas apa yang diperintahkan oleh Allah, dan beliau tidak pernah menyentuh telapak seorang wanita pun, apabila beliau membaiat mereka, beliau hanya mengucapkan, "Sesungguhnya saya telah membaiat kalian."

[HR. Muslim: 1866]

Dari 'Urwah, bahwa 'Aisyah telah mengabarkan kepadanya mengenai proses pembaiatan terhadap kaum wanita, dia berkata, "Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita manapun, beliau hanya mengambil baiat dari mereka. Ketika mereka telah memberikan baiatnya kepada beliau, maka beliau bersabda, "Pergilah, sungguh aku telah membaiat kamu."

[HR. Muslim: 1866]

Beliau adalah pribadi yang sempurna, yang terbaik dari umat manusia, pemimpin anak-anak Adam 'Alaihissalam pada hari berbangkit, tidak menyentuh wanita. Padahal sumpah setia pada awalnya diberikan dengan tangan. Jadi bagaimana dengan pria selain Nabi ?

Dari Umaimah binti Ruqaiqah, ia berkata, Rasulullah bersabda kepada: 'Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum wanita.'

HR. an-Nasa’i (4181) dan Ibn Majah, 2874; dishahihkan oleh Syekh al-Albaani di dalam Sahih al-Jami’, 2513. 

Kedua:

Tidak diperbolehkan berjabat tangan meskipun ada penghalang di antaranya, seperti berjabat tangan dari balik lapisan pakaian dan sejenisnya. Riwayat hadits yang membolehkan adalah dhaif (lemah)

Diriwayatkan dari Ma’qal ibn Yassaar bahwa Nabi berjabat tangan dengan wanita dari balik lapisan pakaian.” 

HR. At-Tabaraani di dalam al-Awsat, 2855. 

Al-Haythami berkata: 

Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tabaraani di dalam al-Kabir dan al-Awsat. Di dalam sanadnya terdapat ‘Atab ibn Harb, yaitu periwayat yang dhaif (lemah). 

Majma’ al-Zawaa’id, 6/39. 

Wali al-Din al-‘Iraqi berkata: 

Perkataan ‘A’isyah radhiyallahu’anha, “beliau menerima baiat perempuan dengan ucapan saja” berarti bahwa beliau melakukannya (menerima baiat) tanpa memegang tangan mereka atau bersalaman dengan mereka. Ini menunjukkan bahwa bay'ah laki-laki diterima dengan mengambil tangan mereka dan berjabat tangan dengan mereka, juga dengan kata-kata, dan begitulah adanya. Yang 'Aiyhah radhiyallahu’anha sebutkan adalah adat istiadat.

Beberapa mufassir menyebutkan bahwa Nabi meminta bejana air dan mencelupkan tangannya ke dalamnya, lalu para wanita mencelupkan tangan ke dalamnya. Dan beberapa dari mereka mengatakan bahwa dia tidak berjabat tangan dengan mereka dari balik lapisan penghalang dan memiliki jubah Qatar melapisi tangannya. Dan dikatakan bahwa 'Umar radhiyallahu’anhu berjabat tangan dengan mereka atas namanya. Tak satu pun dari riwayat ini yang shahih, juga yang terakhir, bagaimana mungkin 'Umar radhiyallahu’anhu melakukan sesuatu yang Nabi , yang ma'sum (sempurna), tidak lakukan?

Tarh al-Tathrib, 7/45 

Syaikh Ibn Baz rahimahullah berkata: 

Pendapat yang paling benar adalah bahwa hal ini (yaitu, berjabat tangan dengan wanita dari balik pembatas) sama sekali tidak diperbolehkan, karena makna umum dari hadits, ketika Nabi bersabda , "Saya tidak berjabat tangan dengan wanita;" dan seterusnya adalah untuk menangkal hal-hal yang dapat mengarah pada kemaksiatan.

(Disalin dari Hashiyat Majmu’at Rasa’il fi’l-Hijab wa’l-Sufur, hlm. 69)

Ketiga:

Hukum yang sama berlaku untuk berjabat tangan dengan wanita tua; ini juga haram karena makna umum dari teks tentang masalah ini. Riwayat yang mengatakan diperbolehkan adalah dhaif (lemah).

Al-Zaila’i berkata: 

“Adapun riwayat bahwa Abu Bakar biasa berjabat tangan dengan wanita tua, itu juga gharib.”

(Nasab al-Rayah, 4/240) 

Ibn Hajar berkata: 

Aku tidak menemukan hadits ini. 

(al-Dirayah fi Takhrij Ahadits al-Hidayah, 2/225) 

Keempat:

Mengenai pandangan imam yang empat, adalah sebagai berikut:

1 – Mazhab Hanafi: 

Ibn Nujaim berkata

Tidak dibolehkan pria menyentuh wajah atau tangan wanita walaupun tidak ada syahwat karena pada prinsipnya haram dan tidak ada kondisi darurat yang membolehkannya

 Al-Bahr al-Ra’iq, 8/219 

2 – Mazhab Maliki: 

Muhammad ibn Ahmad (‘Ulaisy) berkata

Laki-laki tidak boleh menyentuh wajah atau tangan wanita non-mahram, dan tidak boleh menyentuh wajah wanita tanpa pembatas. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengatakan: "Rasulullah tidak pernah menerima baiat  seorang wanita  dengan menyalami tangannya, beliau hanya mengambil baiat dari mereka dengan ucapan saja.” Menurut riwayat lain, “Tangan beliau tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita, beliau hanya mengambil baiat dari mereka dengan ucapan saja.”

(Manh al-Jalil Sharh Mukhtasar Khalil, 1/223) 

3 – Mazhab Syafi’i:

An-Nawawi berkata

Tidak diperbolehkan menyentuh wanita dengan cara apapun.

Al-Majmu’, 4/515. 

Wali al-Din al-‘Iraqi berkata

Hal ini menunjukkan bahwa tangan Nabi tidak menyentuh tangan wanita mana pun selain istri dan budaknya, baik dalam hal menerima baiat atau dalam kasus lain. Jika beliau tidak melakukan itu sedangkan beliau adalah maksum dan tanpa cela, maka lebih penting lagi bagi orang lain untuk memperhatikan larangan ini. Telah diketahui dari riwayat bahwa beliau menahan diri untuk tidak melakukan itu karena haram baginya untuk melakukannya. Para fuqaha di antara sahabat kami dan yang lainnya mengatakan bahwa adalah haram menyentuh wanita non-mahram meskipun itu tidak menyentuh bagian tubuhnya yang bukan 'aurat, seperti wajahnya. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam memandang ketika tidak ada syahwat dan tidak ada rasa takut (tidak terjerumus) pada fitnah. Larangan menyentuh lebih kuat dari pada larangan memandang, dan haram bila tidak ada keadaan darurat yang membolehkannya. Jika itu keadaan mendesak, misalnya berobat, mencabut gigi atau mengobati mata, dan lain-lain, jika tidak ada wanita yang dapat melakukan itu, maka hal itu boleh dilakukan oleh non-mahram karena itu adalah keadaan darurat.

Tarh al-Tathrib, 7/45, 46 

4 – Mazhab Hanbali:

Ibn Muflih berkata: 

Abu ‘Abd-Allaah – yaitu, Imam Ahmad – ditanya tentang seorang laki-laki yang berjabat tangan dengan seorang wanita. Dia berkata, Tidak, dan dengan tegas mengatakan bahwa itu haram. Saya berkata, bolehkah dia berjabat tangan dengannya (perempuan) dari balik (dilapisi) pakaiannya? Dia berkata, Tidak.

Syaikh Taqiy al-Din juga menyetujui bahwa memandang adalah dilarang, dan menjelaskan bahwa menyentuh lebih serius daripada melihat

AlAdaab al-Shar’iyyah, 2/257 

Wallahu Ta’ala A’lam.

Diterjemahkan dari:Islamqa.info