TITIAN SALAF

"Syiarkan Sunnah, Kikis Bid'ah". Mencukupkan Diri Dengan Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam Dengan Mengikuti Pemahaman Generasi Terbaik Para Sahabat Radhiyallahu’anhum

Breaking

Sabtu, 12 Desember 2020

Sabtu, Desember 12, 2020

Apa Yang Dimaksud Surga Dunia



Imam Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa guru beliau, Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah, berkata, “Sesungguhnya di dunia terdapat surga yang seperti (merupakan representasi) surga akhirat. Barangsiapa yang memasuki surga dunia itu maka ia kelak akan memasuki surga akhirat, dan barangsiapa yang tidak memasuki surga dunia tersebut niscaya ia tidak akan memasuki surga akhirat.” [Ad-Dā` wad Dawā`, hal. 186; dan Madārij as-Sālikīn vol. I, hal. 454]

Yang dimaksud dengan surga dunia dalam ucapan di atas adalah ketentraman, kebahagiaan dan kesejukan hati tiada terkira dengan mengingat, mencintai dan merindui Allah.

Dan demikianlah yang terjadi pada diri Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah. Dalam dada beliau terdapat surga yang membuat beliau tentram dan bahagia di mana pun berada. Ibnul Qayyim menuturkan bahwa gurunya, Ibn Taimiyyah, pernah berkata kepadanya—dengan ucapan yang patut ditulis dengan tinta emas,

مَا يَصْنَعُ أَعْدَائِيْ بِيْ؟ أَنَا جَنَّتِيْ وَبُسْتَانِيْ فِيْ صَدْرِيْ إِنْ رُحْتُ فَهِيَ مَعِيْ لاَ تُفَارِقُنِيْ، إِنَّ حَبْسِيْ خَلْوَةٌ وَقَتْلِيْ شَهَادَةٌ وَإِخْرَاجِيْ مِنْ بَلَدِيْ سِيَاحَةٌ

“Apa yang dapat dilakukan musuh-musuhku terhadapku? Kebun surgaku berada dalam dadaku, yang jika aku pergi ia senantiasa bersamaku dan tidak berpisah dariku; penahananku adalah khalwah(menyepi untuk bermunajat kepada Allah Ta’āla); pembunuhan terhadapku adalah syahid; dan pengusiranku dari negeriku adalah wisata.”

Lalu Imam Ibnul Qayyim mengisahkan lebih lanjut tentang kondisi kehidupan gurunya tersebut, “Allah mengetahui bahwa saya sama sekali tidak pernah melihat seorang pun yang lebih baik kehidupannya dibandingkan beliau, meskipun beliau mengalami kesempitan, kesulitan, serta sangat jauh dari kemewahan dan berbagai kenikmatan dunia. Bahkan sebaliknya, beliau dipenjara, diancam dan dianiaya. Walaupun demikian, beliau termasuk manusia yang paling baik kehidupannya, paling lapang dadanya, paling kuat hatinya, paling senang jiwanya, (sampai-sampai) kesenangan dan kenikmatan hidup tersebut memancar dari wajah beliau.

Jika kami ditimpa ketakutan yang sangat dan persangkaan yang buruk, serta merasa bahwa bumi ini menjadi sempit menghimpit, maka kami mendatangi beliau. Tidaklah kami melihat dan mendengar ucapan beliau, melainkan hal-hal negatif tersebut menjadi sirna, bahkan berubah menjadi kelapangan, kekuatan, keyakinan dan ketentraman.

Maka Maha Suci Allah yang telah yang telah memperlihatkan surga-Nya (di dunia) kepada para hamba-Nya sebelum pertemuan dengan-Nya, dan telah membukakan pintu-pintu surga tersebut untuk mereka di negeri amal, sehingga mereka mendapatkan kenikmatan, kelapangan dan kebaikannya dalam rangka mengisi kembali kekuatan mereka untuk mencari dan berlomba-lomba meraih surga.” [Al-Wābil ash-Shayyib min al-Kalim ath-Thayyib, hal. 69-70]

Sebagian orang bijak berkata, “Orang-orang yang patut dikasihani dari ahli dunia keluar meninggalkan dunia sementara mereka belum merasakan indah kenikmatannya.” Ada yang bertanya, “Apakah itu?” Orang bijak itu menjawab, “Cinta kepada Allah, tentram dengan-Nya, dan merindui pertemuan dengan-Nya….” [Raudhatul Muhibbīn, hal. 148]

Sumber artikel: https://www.alquran-sunnah.com/artikel/kategori/tazkiyatun-nufus/874-surga-dunia.html


Senin, 19 Oktober 2020

Senin, Oktober 19, 2020

Kisah Nyata di Suatu Dauroh (Perjalanan Seorang Penuntut Ilmu yang Perlu Diteladani)

 


Bismillaahirrohmaanirrohiim……..

Cerita ini saya (penulis) tulis adalah untuk memberikan ibroh kepada kita semua khususnya saya sendiri bahwa penderitaan dan kesusahahpayahan kita dalam menempuh jalan yang haq ini tidaklah seberapa, bahkan jika kita bandingkan dengan para salafushalih.

Cerita yang saya ambil ini adalah kisah manusia di masa ini, dimana sangat langka dan sulit ditemui orang-orang yang memiliki ghiroh yang sama sepertinya dalam tholabul ‘ilm. Saya menuliskan cerita ini adalah berdasarkan sebuah kisah nyata, dimana kisah tersebut saya dengar sendiri oleh salah satu sumber (akhowat) terpercaya yang mengetahui kisah tersebut…wallahua’lam. Semoga kisah ini dapat memotivasi dan menginspirasi kita untuk lebih dapat bersemangat dalam menuntut ilmu syar’ie…Baarokallohufiikum……

Di suatu daerah terpencil, terdapat sepasang suami istri yang sangat zuhud….mereka belum dikaruniai seorang putra karena masih dikategorikan pengantin yang masih baru. Perlu diketahui sang suami adalah seorang yang sangat rajin menuntut ilmu, ia adalah seseorang yang memiliki semangat yang sangat luar biasa untuk memperoleh ilmu. Bahkan dahulu ketika ia ingin menikah, ia tidak mempunyai sepeser uang yang cukup untuk meminang seorang akhowat, dan akhirnya ia menghadap kepada salah seorang ustadz di ma’had yang saat itu ia belajar di sana hanya untuk meminta nasihat bagaimana ia dapat menikah. Ia sangat sadar bahwa dirinya tak tampan, dan tidak mapan dalam pekerjaan karena hampir masa mudanya dihabiskan di ma’had. Sang ustadz pun menghargai tekadnya dan pada akhirnya membiayai pernikahan lelaki tersebut.

Sang suami di masa mudanya adalah salah seorang murid yang diakui kepandaiannya di ma’hadnya. Beberapa rekan dan ustadz memujinya dalam hal keilmuannya. Suatu hari sang suami berniat ingin mendatangi suatu dauroh di luar kota. Karena ia belum memiliki pekerjaan yang tetap (masih serabutan-red-) maka ia dan istrinya memikirkan bagaimana caranya agar sang suami dapat pergi untuk mendatangi dauroh tersebut walau ekonomi mereka sangat pas-pasan. Jarak yang harus ditempuh sangatlah jauh, sehingga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sedangkan penghasilan mereka untuk makan sehari-hari saja masih belum cukup. Sang suami bukanlah seorang yang malas dalam mencari nafkah, namun qadarallah….Allah telah menetapkan rezekinya hanya sedemikian. Walau demikian ia tetap bersemangat dalam menjalani hidupnya.

Suatu hari istrinya yang walhamdulillah sangat qona’ah dan juga zuhud, berinisiatif membongkar tabungan yang beberapa bulan ia kumpulkan di kotak penyimpanannya. Qaddarallah…..uang yang terkumpul hanya Rp 10.000,-. Bayangkan wahai pembaca,,,,bahkan mata ini ingin menangis ketika saya mengetik kisah ini….Dalam sehari kita bisa memegang uang puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan mungkin hingga ada yang mencapai nominal jutaan…Dengan keistiqomahan dan kezuhudan sang istri tidak pernah mengeluh untuk mengumpulkan 100 perak (Rp 100,-) setiap keuntungan yang diperoleh suaminya yang tidak setiap hari ia dapatkan…..

Sang istri segera mengumpulkan uang tersebut dan berinisiatif untuk membuatkan bekal arem-arem (bahasa jawa), yaitu sejenis nasi kepal yang dibungkus daun pisang untuk bekal perjalanan suaminya. Hanya itu yang dapat sang istri berikan kepada suaminya sebagai wujud cinta dan kasih sayangnya….

Sang suami pun kemudian berangkat dengan membawa bekal dan do’a dari istrinya untuk menuntut ilmu….Ia pergi dengan berjalan kaki…..yah!! hanya berjalan kaki untuk menepuh jarak puluhan kilometer!!! (wallahua’lam) Karena ia tak membawa uang sepeserpun untuk bepergian…hanya beberapa buah arem-arem dan pakaian yang melekat di badannya yang ia bawa ke luar kota… Subhanallooh…..

Perjalanan ia tempuh 3 hari 3 malam dengan kedua kakinya tanpa kendaraan satupun….Akhirnya ia pun sampai di tempat dauroh dilaksanakan, hanya dengan berjalan kaki dan berteduh di tempat seadanya selama perjalanan…..

Dauroh akhirnya dimulai…selama dauroh ia sangat antusias untuk mengambil ilmu yang diterimanya, ia mengambil shaf paling depan dan dekat dengan ustadz pemateri. Namun beberapa saat kemudian ia mendapat teguran oleh seseorang di sampingnya karena setiap beberapa menit ia selalu meluruskan kakinya ketika materi berlangsung…hal itu tidak ia lakukan sekali-dua kali….namun hingga beberapa kali…hingga akhirnya orang disampingnya pun menegurnya karena menganggapnya tidak sopan….Hal itu ia lakukan karena kakinya terasa pegal selama 3 hari 3 malam berjalan kaki….Masyaa Alloh..

Saat istirahat pun tiba…ia berkumpul dengan ikhwan-ikhwan lain di dapur untuk membantu berbenah….ia pun akhirnya menceritakan kisah 3 hari 3 malamnya itu kepada salah seorang ikhwan di tempat tersebut..dan seketika membuat tercengang orang-orang yang mendengarnya…..Akhirnya cerita itu sampai ke telinga ustadz pemateri dauroh…Ustadz pun tercengang dengan kisah itu….dan akhirnya ustadz beserta ikhwan-ikhwan mengumpulkan dana sukarela untuk memberikan sumbangan kepadanya…dan terkumpulah uamg Rp 300.000,- sebagai dana bantuan untuk kepulangannya….

Subhanalloh…sebuah kisah yang mungkin sempat kita ragukan kebenarannya, tapi Insya Alloh ini kisah nyata…..Semoga kita dapat mengambil ibroh dari kisah ini….terakhir mari kita simak hadist berikut ini….

“Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu agama, pasti Allah membuat mudah baginya jalan menuju surga” (HR Muslim)

Yahya bin Abi Katsir rahimahullahu ta’ala berkata, “Ilmu tidak akan diperoleh dengan tubuh yang dimanjakan (dengan santai/tidak bersungguh-sungguh).” (Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi I/385, no. 554)

Semoga cerita ini dapat menjadi pelajaran yang berharga bagi kita semua terkhususnya saya sebagai penulis…..Wallahua’lam bishowab….

Nb: Jika ada kekurangan penulisan maupun kekurangtepatan alur cerita dalam kisah ini…semua kesalahan dari penulis semata dan mohon untuk dimaklumi karena keterbatasan ingatan dan lain sebagaianya…karena kebenaran semuanya dari Alloh azza wa jalla semata..

Baarokallohufiikum

(Menuntut Ilmu Dien (Syar’ie)’s blog)

Yogyakarta, 9 juni 2011

Dikutip sepenuhnya tanpa edit dari sini

Kamis, 01 Oktober 2020

Kamis, Oktober 01, 2020

Seorang Muslim Berideoligi Komunis. Mungkinkah?


Pertanyaan:

Apakah seorang Muslim bisa menjadi komunis di waktu yang sama?

Jawab:

Alhamdulillah..

Tidak mungkin seseorang menjadi Muslim dan komunis pada saat yang sama, karena mereka adalah lawan yang tidak dapat hidup berdampingan dalam individu yang sama melainkan salah satu dari mereka menang dan yang lain disingkirkan. Siapapun komunis bukanlah seorang Muslim. Komunisme melibatkan berbagai jenis kufur terang-terangan, seperti menolak keberadaan Allah Ta’ala, menyangkal keberadaan dunia ghaib, mengejek agama Allah dan meremehkannya, dan mencemooh hukum dan nilai-nilai agama. Bagaimana bisa seorang muslim yang beragama Islam mengikuti ideologi yang menyatakan bahwa agama adalah candu rakyat? Kaum komunis termasuk kafir, Allah Ta’ala berfirman: 

{أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ} [الطور : 35]

{أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۚ بَل لَّا يُوقِنُونَ} [الطور : 36]

Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?  Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan)." [At-Tur 52: 35-36] 

Bagaimana mungkin Muslim mengikuti kelompok yang keyakinannya seperti itu? 

Semoga Allah memberi kita hidayah

Rabu, 12 Agustus 2020

Rabu, Agustus 12, 2020

Hukum Jual Beli Emas Secara Kredit, Tukar Tambah, Dan Online

 

  1. JUAL BELI EMAS SECARA KREDIT / TIDAK TUNAI 


Pertanyaan:


Saya memiliki toko perhiasan dan beberapa kerabat atau teman saya datang kepada saya untuk membeli emas, dan mereka meminta saya untuk mengizinkan mereka mengambil emas itu terlebih dahulu dan mereka akan memberi saya uang satu atau dua hari setelah itu. Saya khawatir jika saya mengatakan kepada mereka bahwa ini haram, ini akan menyebabkan putusnya hubungan kekerabatan.


Jawab:


Alhamdulillah 


Tidak diperbolehkan menjual emas untuk mendapatkan uang kecuali emas dan uang tersebut diserahkan pada saat yang sama. Inilah yang dikemukakan oleh para fuqaha'. Ini disebut (التقابض) taqaabud (kepemilikan timbal balik atas komoditi dan setara moneternya oleh masing-masing pembeli dan penjual), dimana pembeli mengambil emas, dan penjual mengambil uang (dalam waktu yang sama). Tidak diperbolehkan menjual emas jika tidak ada taqaabud.


Apa yang harus Anda lakukan adalah menjelaskan hal ini kepada mereka yang membeli dari Anda, dan apa yang harus dilakukan seorang Muslim adalah mendengarkan dan mematuhi apa pun yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi Wasallam. Anda tidak melakukan ini (tidak menuruti keinginan mereka - pent) bukan karena Anda tidak mempercayai mereka, melainkan Anda melakukannya untuk mengikuti syariat. Anda harus menjelaskan ini dengan cara yang baik dan lembut.


Syeikh Muhammad ibn Saleh ibn 'Utsaimin (Rahimahullah) ditanya:

Bagaimana hukumnya memberi emas sebelum menerima uangnya, jika diberikan kepada kerabat karena takut putus hubungan kekerabatan dan saya sadar/yakin dia akan membayarnya meskipun itu setelah beberapa waktu?


Beliau menjawab:

Anda harus menyadari prinsip umum bahwa tidak diperbolehkan sama sekali menjual emas untuk mendapatkan uang, kecuali jika harga dibayar lunas saat itu juga. Tidak ada bedanya jika pelanggan adalah kerabat atau orang asing, karena agama Allah tidak berpihak pada yang satu dengan mengorbankan yang lain. Jika kerabat Anda marah kepada Anda karena menaati Allah, maka biarkan dia marah, karena dia adalah orang yang salah dan orang berdosa yang ingin Anda tidak taat kepada Allah, dan sebenarnya Anda telah menghormatinya dengan mencegah dia melakukan transaksi haram dengan Anda. Jika dia marah atau memutuskan hubungan dengan Anda karena alasan ini, maka dia adalah orang berdosa dan tidak ada dosa pada Anda.


Fiqh wa Fatwa al-Buyu' disusun oleh Ashraf ‘Abd al-Maqsud hlm. 389


Diterjemahkan dari: https://islamqa.info/


  1. TUKAR TAMBAH EMAS


Pertanyaan:


Ada fenomena baru di kalangan pedagang emas di mana jika seseorang datang dengan berbagai jenis perhiasan emas dengan tujuan untuk menukarnya dengan jenis lain, maka penjual dapat menimbang emas tersebut untuk membeli perhiasan dengan berat yang sama, tetapi dia meminta lebih dari emas (tambahan-pent). Apakah ini riba? Mohon beri tahu kami, semoga Allah membalas kebaikan Anda.


Jawab.


Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Salawat dan salam atas Rasulullah dan keluarga dan sahabatnya, dan mereka yang mengikuti petunjuknya


Nabi kita yang Mulia Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda tentang emas:


(الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ)


Emas dengan emas sebanding nilainya, sama, tangan ke tangan (tunai)


Atau pada teks lain, (penambahan oleh pent)


الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْوَرِقُ بِالْوَرِقِ مِثْلًا بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ


"Emas dengan emas dan perak dengan perak sebanding dan dilakukan secara langsung" [HR. Ahmad: 9264].


Jika tukang emas atau penjual emas ini meminta lebih dari beratnya, maka dia terjerumus ke dalam riba. Jika berat perhiasan itu 20 mitsqal (satu mitsqal beratnya 4,25 gr) dan emasnya sama beratnya, tetapi ia menginginkan uang tunai tambahan beserta emas yang ditukarkan, hal ini tidak diperbolehkan karena uang tunai tersebut sebagai imbalan/tambahan dari apa yang ia berikan, jadi dia akan menjual emas dengan harga yang lebih rendah. 


Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:


(مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ)

Sebanding jumlahnya, sama


Intinya adalah jika dia menjual emas untuk mendapatkan emas, jumlahnya harus sama, dan tidak boleh lebih, apakah kelebihannya berupa barang yang sama (emas) atau yang lain. Jika salah satu dari mereka menambahkan uang tunai atau barang lain, ini adalah riba, karena Rasulullah Alaihi bersabda: 


(مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ)


"Sebanding jumlahnya, sama, tangan ke tangan (tunai)."


Dengan demikian diketahui bahwa ini termasuk jenis riba.


Selesai kutipan.


Syeikh Abdul Aziz ibn Baz rahimahullah


Diterjemahkan dari: https://islamqa.info/


  1. JUAL BELI EMAS ONLINE 


Pertanyaan. 


Pemilik toko emas membeli emas dari pedagang grosir melalui telepon, dan mereka menyetujui harganya. Produk diperlihatkan kepada pembeli, kemudian dia mengirimkan pembayarannya melalui bank dan dealer mengirimkan emas kepadanya. Apakah ini diperbolehkan?.


Jawab.


Alhamdulillah 


Menjual emas untuk mendapatkan uang tunai harus tunduk pada syarat bahwa transaksi diselesaikan dalam satu waktu, yaitu emas diserahkan kepada pembeli dan uang diserahkan kepada penjual dalam satu kesempatan. Tidak diperbolehkan bagi mereka untuk berpisah sebelum melakukan pertukaran tangan ke tangan. Berdasarkan hal tersebut, tidak diperbolehkan membeli emas ini dengan cara seperti ini.


Lajnah Daimah ditanya pertanyaan yang semisal dan dijawab.

Transaksi ini tidak diperbolehkan karena keterlambatan pertukaran harga dan barang yang dibeli, baik emas dengan emas, atau emas dan yang lainnya perak, atau uang kertas yang telah disepakati. Ini disebut riba al-nasa'/nasi'ah dan haram. Sebaliknya, transaksi harus dilakukan saat uang ada pada saat transaksi. 


Selesai kutipan 


Kumpulan Lajnah al-Da’imah, 13/475.


Diterjemahkan dari: https://islamqa.info/




Minggu, 09 Agustus 2020

Minggu, Agustus 09, 2020

Membayar Hutang Kepada Orang yang Sudah Meninggal Tapi Ahli Warisnya Tidak Diketahui

Pertanyaan.

Bapak suami saya meminjam sejumlah uang sebelum tahun 1948, tapi dia tidak punya cukup uang untuk mengembalikan hutang tersebut, dan orang yang memberi hutang tersebut meninggal. Lalu terjadi bencana di Palestina dan kami terusir dari sana. Kondisi ekonominya masih buruk pada waktu itu, lalu bapak suami saya meninggal, dan kondisi keuangan suami saya dan saya juga tidak baik. 

Sekarang suami saya dan saya ingin membayar hutang tersebut. Perlu diketahui bahwa kami sudah tinggal di Arab Saudi sejak tahun 1967 dan tidak tahu apapun tentang ahli waris laki-laki yang meminjamkan uang tersebut. 

Suami saya punya seorang saudara laki-laki yang tidak bekerja dan keluarganya punya anak-anak yang cacat, penglihatannya sangat buruk dan dia tidak bisa bekerja. 

Bolehkah kami memberikan uang kepada saudara suami saya ini dengan niat mengembalikan hutang atas nama orang (bapak suami) yang sudah meninggal, dan pahala sedekahnya diniatkan atas nama laki-laki pemilik uang tersebut?

Mohon nasihat anda buat kami, semoga Allâh membalasmu dengan kebaikan.


Jawab.


Alhamdulillah, 


Anda harus mencari ahli waris dari pemilik uang tersebut, menggunakan segala jalan dan cara untuk mencari mereka dan tidak mengabaikan upaya ini dan anda harus memberikan uang tersebut kepada mereka.

Jika anda tidak bisa melakukannya (tidak bisa menemukan ahli warisnya - pent), maka berikan uang tersebut sebagai sedekah dengan niat pahala sedekahnya untuk laki-laki pemilik uang itu. Bisa diberikan dalam bentuk sumbangan amal apa saja yang dapat meringankan kebutuhan umat Islam.


Nasihat kami, jangan memberikan uang tersebut kepada saudara suami anda, karena hal tersebut mungkin saja terlihat seperti sikap pilih kasih dan jangan sampai dia dituduh yang tidak baik dan orang-orang memfitnah kehormatannya karena itu.


Diterjemahkan dari: https://islamqa.info/en/answers/21626/he-borrowed-money-and-the-person-to-whom-it-was-owed-has-died-and-he-does-not-know-how-to-repay-it




Senin, 03 Agustus 2020

Senin, Agustus 03, 2020

Al Qur'an, Sunnah dan Ijma' Ulama Menjelaskan Dimana Allah



Alhamdulillah.


Segala puji hanya milik Allah semata,

Ahlussunnah wal jama'ah telah berdalil tentang Ketinggian Allah ta'ala di atas makhluk-Nya Uluww ( Tinggi ) dengan Dzat-Nya dari Al-Qur'an, Hadits, Ijma' ( konsensus ), akal dan fitrah.


Pertama:

Dari Al-Qur'an berbagai macam bentuk dalil yang digunakan, kadangkala dengan menyebutkan kata "Uluww (Tinggi)" kadang dengan menyebutkan kata "fauqiyyah (Diatas)". terkadang juga menyebutkan Menurunkan sesuatu dari-Nya. Terkadang juga menyebutkan "Naik kepada-Nya", kadang pula "Diatas langit"


Kata "Uluww" seperti dalam firman-Nya;

( وهو العلي العظيم ) البقرة/٢٥٥


"Dan Dialah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung" Al-Baqarah : 255.


( سبح اسم ربك الأعلى ) الأعلى/١


"Sucikan nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi" Al-A'la: 1.


Kata "Fauqiyyah" dalam firman:


( وهو القاهر فوق عباده )  الأنعام/١٨


"Dan Dia Yang Maha berkuasa atas hamba-hamba-Nya" Al-An'am: 18.


( يخافون ربهم من فوقهم ويفعلون ما يؤمرون ) النحل/٥٠


"Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka) " An-Nahl: 50


Turunnya sesuatu dari-Nya, seperti firman-Nya:


(  يدبر الأمر من السماء إلى الأرض) السجدة/٥


"Mengatur urusan dari langit ke bumi" Sajadah: 5


( إنا نحن نزلنا الذكر ) الحجر/٩


"Sesungguhnya Kami ( Allah ) telah menurunkan Dzikro ( Al-Qur'an )" Al-Hijr: 9


Dan naiknya sesuatu kepada-Nya, seperti firman-Nnya:


( إليه يصعد الكلم الطيب والعمل الصالح يرفعه ) فاطر/١٠


"Naik kepada-Nya kalimat yang baik dan amal sholeh serta mengangkat-Nya" Fatir: 10.


Seperti juga:


( تعرج الملائكة والروح إليه ) المعارج/٤


"Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan" Al-Ma'arij: 4


Keberadaan-Nya di langit seperti dalam firman-Nya:


( ءأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض  ) الملك /١٦


"Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu" Al-Mulk: 16


Juga di di dalam dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah di Atas langit, bersemayam di atas Arsy dan Dia Maha Tinggi sekali.


( الله الذي خلق السموات والأرض وما بينهما في ستة أيام ثم استوى على العرش ما لكم من دونه من ولي ولا شفيع أفلا تتذكرون ) السجدة/ ٤


"Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Tidak ada bagi kamu selain dari pada-Nya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?" As-Sajadah: 4


Kemudian firman-Nya


( إن ربكم الله الذي خلق السموات والأرض في ستة أيام ثم استوى على العرش يدبر الأمر ) يونس/ ٣


"Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan". Yunus: 3


Ayat-ayat lain tentang  Allah bersemayam di atas Arsy dan Dia Maha Tinggi sekali juga bisa dilihat dalam Al-Qur’an; (Al-A'raf: 54), (Huud: 7), (Al-Furqan: 59), (Qaf: 38), (Al-Hadid: 4).


Kedua: 

Di dalam sunnah, telah ada dari Nabi sallallahu'alaihi wasallam secara mutawatir baik dari ucapan, perbuatan maupun ketetapannya.


Diantara yang ada dari ucapan Beliau sallaallahu'alihi wasallam menyebutkan uluw ( tinggi ) dan fauqiyyah ( atas ) adalah:


( سبحان ربي الأعلى )


"Maha suci Tuhanku yang Maha Tinggi" , setiap kali beliau ucapkan dalam sujudnya.


Juga tindakan beliau seperti mengangkat telunjuk ke langit ketika beliau khutbah nan agung di hadapan manusia, yaitu ketika hari Arofah dalam haji Wada', Beliau sallallahu'alaihi wasallam bersabda:


( ألا هل بلغت؟ )


" Ketahuilah, apakah telah kusampaikan?"


Mereka menjawab:


( نعم )


"Iya, sudah"


Ini beliau ulangi sampai tiga kali dan setiap kali beliau menanyakan hal ini mereka menjawab: "Iya, sudah"


Kemudian beliau berkata:


(  اللهم ! أشهد )


"Ya Allah, saksikanlah" sambil memberikan isyarat telunjuknya ke langit kemudian mengarah ke orang-orang. 


Diantaranya juga beliau mengangkat tangan ke langit ketika berdoa sebagaimana dalam puluhan hadits. Ini menetapkan akan ketinggian dengan perbuatan.


Dan ketetapan ( taqrir ) seperti dalam hadits Jariyah ketika Nabi sallallahu'alahi wasallam bertanya kepadanya:


(أين الله؟)


"Dimana Allah?" 


Dia menjawab:


(في السماء)


"Di langit". 


Kemudian bertanya lagi:


 ( من أنا؟ )


"Siapa aku?", 


Dia menjawab:


(رسول الله)


"Engkau utusan Allah". 


Kemudian Rasulullah sallallahu'alaihi wasallam berkata kepada tuannya: "Merdekakan dia, karena dia telah beriman"


Dia cuma sekedar budak tidak berpendidikan, masih budak belum merdeka tidak memiliki dirinya, dia tahu bahwa Tuhannya ada di langit. Sementara orang yang sesat dari bani Adam mengatakan Dia tidak ada di atas, tidak di bawah, tidak juga di kanan maupun kiri bahkan mereka mengatakan Dia (Tuhan) ada di mana-mana!!


Ketiga : dalil Ijma' (konsensus para ulama'). Para ulama' salaf telah bersepakat Allah dengan Dzat-Nya di langit. Sebagaimana yang dinukil oleh ahli ilmu seperti Dzahabi rohimahullah dalam kitabnya  (Al-Uluw LilAlyyil Goffar)


Keempat : sementara dalil akal, kami katakan bahwa uluw (tinggi) adalah sifat yang sempurna menurut kesepakatan orang yang berakal. Kalau itu sifat sempurna, seharusnya dimiliki Allah, karena semua sifat kesempurnaan mutlak hanya milik Allah semata. Maka ia adalah tetap milik Allah.


Kelima : sementara dalil fitrah, maka tidak ada satupun yang melawan dan mengingkarinya, karena setiap orang secara fitrah mengatakan Allah ada di langit. Oleh karena itu manakala ada sesuatau yang mengagetkan atau merisaukan yang dia tidak bisa melawannya, maka dia akan menggarahkan secara langsung kepada Allah. Karena hatinya secara otomatis menghadap ke langit tidak ke arah lainnya. Bahkan yang mengherankan orang-orang yang mengingkari akan sifat uluw (tinggi) untuk Allah di atas makhluk-Nya tidak mengangkat tangannya ketika berdoa kecuali mengarah ke langit.


Sampai Fir'aun musuh Allah, ketika berdebat dengan Nabi Musa tentang Tuhannya dia berkata kepada menterinya Haman:


( يا هامان ابن لي صرحاً لعلي ابلغ الأسباب) غافر/٣٦

(أسباب السماوات فأطلع إلى إله موسى) غافر/٣٧


"Wahai Haman, bangunkan untukku menara, siapa tahu saya bisa mencapai sebab. Sebab-sebab ke langit sehingga saya bisa melihat Tuhannya Musa".


Pada hakekatnya Fir'aun tahu dirinya bahwa Allah benar-benar ada, sebagaimana dalam firman-Nya: 


( وجحدوا بها واستيقنتها أنفسهم ظلما وعلوا ) النمل/١٤


"Mereka mengingkarinya, akan tetapi dirinya meyakin ( adanya Tuhan ) dalam kondisi dholim dan kesombongan". An-Naml: 14


Ini adalah dalil-dalil dari Al-Qur'an, hadits, Ijma', akal, fitrah bahkan dari ucapan orang kafir bahwa Allah ada di atas langit. 


Sumber:

https://islamqa.info/id/answers/992/dalil-tentang-allah-ada-diatas-makhluk-nya-dan-dia-suhbahanahu-wataala-di-atas-langit


Perkataan Ulama Empat Mazhab ttg Allah di atas langit:


1. Sikap Keras Abu Hanifah Terhadap Orang Yang Tidak Tahu Di Manakah Allah


Imam Abu Hanifah mengatakan dalam Fiqhul Akbar,


من انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر


“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.” [Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, hal. 116-117, Darus Salafiyah, Kuwait, cetakan pertama, 1406 H. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 137, Al Maktab Al Islamiy.]


Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar-, beliau berkata,


سألت أبا حنيفة عمن يقول لا أعرف ربي في السماء أو في الأرض فقال قد كفر لأن الله تعالى يقول الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق سمواته فقلت إنه يقول أقول على العرش استوى ولكن قال لا يدري العرش في السماء أو في الأرض قال إذا أنكر أنه في السماء فقد كفر رواها صاحب الفاروق بإسناد عن أبي بكر بن نصير بن يحيى عن الحكم


Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,


الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى


“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”.[QS. Thaha: 5.] Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.”[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, Adz Dzahabi, hal. 135-136, Maktab Adhwaus Salaf, Riyadh, cetakan pertama, 1995.]


2. Imam Malik bin Anas, Imam Darul Hijroh Meyakini Allah di Atas Langit


Dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal ketika membantah paham Jahmiyah, ia mengatakan bahwa Imam Ahmad mengatakan dari Syraih bin An Nu’man, dari Abdullah bin Nafi’, ia berkata bahwa Imam Malik bin Anas mengatakan,


الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء


“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 138.]


Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka berkata,


جاء رجل إلى مالك فقال يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استوى قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه الرحضاء يعني العرق وأطرق القوم فسري عن مالك وقال الكيف غير معقول والإستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة وإني أخاف أن تكون ضالا وأمر به فأخرج


“Suatu saat ada yang mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah Ta’ala berfirman,


الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى


“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”[QS. Thaha: 5.]. Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap tinggi)?” Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan sesuatu (artinya beliau marah) sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun naik dan orang tersebut pun terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata,


الكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالإِسْتِوَاءُ مِنْهُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَإِنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ ضَالاًّ


“Hakekat dari istiwa’ tidak mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui maknanya. Beriman terhadap sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai (hakekat) istiwa’ adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian orang tersebut diperintah untuk keluar.[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 378.]


Inilah perkataan yang shahih dari Imam Malik. Perkataan beliau sama dengan robi’ah yang pernah kami sebutkan. Itulah keyakinan Ahlus Sunnah.


3. Imam Asy Syafi’i -yang menjadi rujukan mayoritas kaum muslimin di Indonesia dalam masalah fiqih- meyakini Allah berada di atas langit


Syaikhul Islam berkata bahwa telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Kholil bin Abdullah Al Hafizh, beliau berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qosim bin ‘Alqomah Al Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah telah memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’i), beliau berkata,


القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر الاعتقاد


“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.[Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, hal. 123-124. Disebutkan pula dalam Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal.165]


4. Imam Ahmad bin Hambal Meyakini Allah bukan Di Mana-mana, namun di atas ‘Arsy-Nya


Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).”[Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 176. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 189.]


Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya,


ما معنى قوله وهو معكم أينما كنتم و ما يكون من نجوى ثلاثه الا هو رابعهم قال علمه عالم الغيب والشهاده علمه محيط بكل شيء شاهد علام الغيوب يعلم الغيب ربنا على العرش بلا حد ولا صفه وسع كرسيه السموات والأرض


“Apa makna firman Allah,


وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ


“Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada.”[QS. Al Hadiid: 4]


مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ


“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.”[QS. Al Mujadilah: 7]


Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghoib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun meliputi langit dan bumi.”


Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al Ghadadiy, beliau berkata,


قيل لأبي عبد الله احمد بن حنبل الله عز و جل فوق السمآء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان قال نعم على العرش و لايخلو منه مكان


Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 116]


Abu Bakr Al Atsrom mengatakan bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qoisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarok ketika ada yang bertanya padanya,


كيف نعرف ربنا


“Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb kami?” Ibnul Mubarok menjawab,


في السماء السابعة على عرشه


“Allah di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan,


هكذا هو عندنا


“Begitu juga keyakinan kami.”[Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 118]


Kami tutup tulisan berikut ini dengan menyampaikan perkataan Abu Nu’aim Al Ash-bahani, penulis kitab Al Hilyah. Beliau rahimahullah berkata, “Metode kami (dalam menetapkan sifat Allah) adalah jalan hidup orang yang mengikuti Al Kitab, As Sunnah dan ijma’ (konsensus para ulama). Di antara i’tiqod (keyakinan) yang dipegang oleh mereka (para ulama) bahwasanya hadits-hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan Allah berada di atas ‘Arsy dan mereka meyakini bahwa Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy-Nya. Mereka menetapkan hal ini tanpa melakukan takyif (menyatakan hakekat sifat tersebut), tanpa tamtsil (memisalkannya dengan makhluk) dan tanpa tasybih (menyerupakannya dengan makhluk). Allah sendiri terpisah dari makhluk dan makhluk pun terpisah dari Allah. Allah tidak mungkin menyatu dan bercampur dengan makhluk-Nya. Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya di langit sana dan bukan menetap di bumi ini bersama makhluk-Nya.”[Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 5/60, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.]


Kami memohon kepada Allah hidayah menuju kebenaran.