TITIAN SALAF

"Syiarkan Sunnah, Kikis Bid'ah". Mencukupkan Diri Dengan Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam Dengan Mengikuti Pemahaman Generasi Terbaik Para Sahabat Radhiyallahu’anhum

Breaking

Rabu, 12 Agustus 2020

Rabu, Agustus 12, 2020

Hukum Jual Beli Emas Secara Kredit, Tukar Tambah, Dan Online

 

  1. JUAL BELI EMAS SECARA KREDIT / TIDAK TUNAI 


Pertanyaan:


Saya memiliki toko perhiasan dan beberapa kerabat atau teman saya datang kepada saya untuk membeli emas, dan mereka meminta saya untuk mengizinkan mereka mengambil emas itu terlebih dahulu dan mereka akan memberi saya uang satu atau dua hari setelah itu. Saya khawatir jika saya mengatakan kepada mereka bahwa ini haram, ini akan menyebabkan putusnya hubungan kekerabatan.


Jawab:


Alhamdulillah 


Tidak diperbolehkan menjual emas untuk mendapatkan uang kecuali emas dan uang tersebut diserahkan pada saat yang sama. Inilah yang dikemukakan oleh para fuqaha'. Ini disebut (التقابض) taqaabud (kepemilikan timbal balik atas komoditi dan setara moneternya oleh masing-masing pembeli dan penjual), dimana pembeli mengambil emas, dan penjual mengambil uang (dalam waktu yang sama). Tidak diperbolehkan menjual emas jika tidak ada taqaabud.


Apa yang harus Anda lakukan adalah menjelaskan hal ini kepada mereka yang membeli dari Anda, dan apa yang harus dilakukan seorang Muslim adalah mendengarkan dan mematuhi apa pun yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi Wasallam. Anda tidak melakukan ini (tidak menuruti keinginan mereka - pent) bukan karena Anda tidak mempercayai mereka, melainkan Anda melakukannya untuk mengikuti syariat. Anda harus menjelaskan ini dengan cara yang baik dan lembut.


Syeikh Muhammad ibn Saleh ibn 'Utsaimin (Rahimahullah) ditanya:

Bagaimana hukumnya memberi emas sebelum menerima uangnya, jika diberikan kepada kerabat karena takut putus hubungan kekerabatan dan saya sadar/yakin dia akan membayarnya meskipun itu setelah beberapa waktu?


Beliau menjawab:

Anda harus menyadari prinsip umum bahwa tidak diperbolehkan sama sekali menjual emas untuk mendapatkan uang, kecuali jika harga dibayar lunas saat itu juga. Tidak ada bedanya jika pelanggan adalah kerabat atau orang asing, karena agama Allah tidak berpihak pada yang satu dengan mengorbankan yang lain. Jika kerabat Anda marah kepada Anda karena menaati Allah, maka biarkan dia marah, karena dia adalah orang yang salah dan orang berdosa yang ingin Anda tidak taat kepada Allah, dan sebenarnya Anda telah menghormatinya dengan mencegah dia melakukan transaksi haram dengan Anda. Jika dia marah atau memutuskan hubungan dengan Anda karena alasan ini, maka dia adalah orang berdosa dan tidak ada dosa pada Anda.


Fiqh wa Fatwa al-Buyu' disusun oleh Ashraf ‘Abd al-Maqsud hlm. 389


Diterjemahkan dari: https://islamqa.info/


  1. TUKAR TAMBAH EMAS


Pertanyaan:


Ada fenomena baru di kalangan pedagang emas di mana jika seseorang datang dengan berbagai jenis perhiasan emas dengan tujuan untuk menukarnya dengan jenis lain, maka penjual dapat menimbang emas tersebut untuk membeli perhiasan dengan berat yang sama, tetapi dia meminta lebih dari emas (tambahan-pent). Apakah ini riba? Mohon beri tahu kami, semoga Allah membalas kebaikan Anda.


Jawab.


Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Salawat dan salam atas Rasulullah dan keluarga dan sahabatnya, dan mereka yang mengikuti petunjuknya


Nabi kita yang Mulia Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda tentang emas:


(الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ)


Emas dengan emas sebanding nilainya, sama, tangan ke tangan (tunai)


Atau pada teks lain, (penambahan oleh pent)


الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْوَرِقُ بِالْوَرِقِ مِثْلًا بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ


"Emas dengan emas dan perak dengan perak sebanding dan dilakukan secara langsung" [HR. Ahmad: 9264].


Jika tukang emas atau penjual emas ini meminta lebih dari beratnya, maka dia terjerumus ke dalam riba. Jika berat perhiasan itu 20 mitsqal (satu mitsqal beratnya 4,25 gr) dan emasnya sama beratnya, tetapi ia menginginkan uang tunai tambahan beserta emas yang ditukarkan, hal ini tidak diperbolehkan karena uang tunai tersebut sebagai imbalan/tambahan dari apa yang ia berikan, jadi dia akan menjual emas dengan harga yang lebih rendah. 


Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:


(مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ)

Sebanding jumlahnya, sama


Intinya adalah jika dia menjual emas untuk mendapatkan emas, jumlahnya harus sama, dan tidak boleh lebih, apakah kelebihannya berupa barang yang sama (emas) atau yang lain. Jika salah satu dari mereka menambahkan uang tunai atau barang lain, ini adalah riba, karena Rasulullah Alaihi bersabda: 


(مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ)


"Sebanding jumlahnya, sama, tangan ke tangan (tunai)."


Dengan demikian diketahui bahwa ini termasuk jenis riba.


Selesai kutipan.


Syeikh Abdul Aziz ibn Baz rahimahullah


Diterjemahkan dari: https://islamqa.info/


  1. JUAL BELI EMAS ONLINE 


Pertanyaan. 


Pemilik toko emas membeli emas dari pedagang grosir melalui telepon, dan mereka menyetujui harganya. Produk diperlihatkan kepada pembeli, kemudian dia mengirimkan pembayarannya melalui bank dan dealer mengirimkan emas kepadanya. Apakah ini diperbolehkan?.


Jawab.


Alhamdulillah 


Menjual emas untuk mendapatkan uang tunai harus tunduk pada syarat bahwa transaksi diselesaikan dalam satu waktu, yaitu emas diserahkan kepada pembeli dan uang diserahkan kepada penjual dalam satu kesempatan. Tidak diperbolehkan bagi mereka untuk berpisah sebelum melakukan pertukaran tangan ke tangan. Berdasarkan hal tersebut, tidak diperbolehkan membeli emas ini dengan cara seperti ini.


Lajnah Daimah ditanya pertanyaan yang semisal dan dijawab.

Transaksi ini tidak diperbolehkan karena keterlambatan pertukaran harga dan barang yang dibeli, baik emas dengan emas, atau emas dan yang lainnya perak, atau uang kertas yang telah disepakati. Ini disebut riba al-nasa'/nasi'ah dan haram. Sebaliknya, transaksi harus dilakukan saat uang ada pada saat transaksi. 


Selesai kutipan 


Kumpulan Lajnah al-Da’imah, 13/475.


Diterjemahkan dari: https://islamqa.info/




Minggu, 09 Agustus 2020

Minggu, Agustus 09, 2020

Membayar Hutang Kepada Orang yang Sudah Meninggal Tapi Ahli Warisnya Tidak Diketahui

Pertanyaan.

Bapak suami saya meminjam sejumlah uang sebelum tahun 1948, tapi dia tidak punya cukup uang untuk mengembalikan hutang tersebut, dan orang yang memberi hutang tersebut meninggal. Lalu terjadi bencana di Palestina dan kami terusir dari sana. Kondisi ekonominya masih buruk pada waktu itu, lalu bapak suami saya meninggal, dan kondisi keuangan suami saya dan saya juga tidak baik. 

Sekarang suami saya dan saya ingin membayar hutang tersebut. Perlu diketahui bahwa kami sudah tinggal di Arab Saudi sejak tahun 1967 dan tidak tahu apapun tentang ahli waris laki-laki yang meminjamkan uang tersebut. 

Suami saya punya seorang saudara laki-laki yang tidak bekerja dan keluarganya punya anak-anak yang cacat, penglihatannya sangat buruk dan dia tidak bisa bekerja. 

Bolehkah kami memberikan uang kepada saudara suami saya ini dengan niat mengembalikan hutang atas nama orang (bapak suami) yang sudah meninggal, dan pahala sedekahnya diniatkan atas nama laki-laki pemilik uang tersebut?

Mohon nasihat anda buat kami, semoga Allâh membalasmu dengan kebaikan.


Jawab.


Alhamdulillah, 


Anda harus mencari ahli waris dari pemilik uang tersebut, menggunakan segala jalan dan cara untuk mencari mereka dan tidak mengabaikan upaya ini dan anda harus memberikan uang tersebut kepada mereka.

Jika anda tidak bisa melakukannya (tidak bisa menemukan ahli warisnya - pent), maka berikan uang tersebut sebagai sedekah dengan niat pahala sedekahnya untuk laki-laki pemilik uang itu. Bisa diberikan dalam bentuk sumbangan amal apa saja yang dapat meringankan kebutuhan umat Islam.


Nasihat kami, jangan memberikan uang tersebut kepada saudara suami anda, karena hal tersebut mungkin saja terlihat seperti sikap pilih kasih dan jangan sampai dia dituduh yang tidak baik dan orang-orang memfitnah kehormatannya karena itu.


Diterjemahkan dari: https://islamqa.info/en/answers/21626/he-borrowed-money-and-the-person-to-whom-it-was-owed-has-died-and-he-does-not-know-how-to-repay-it




Senin, 03 Agustus 2020

Senin, Agustus 03, 2020

Al Qur'an, Sunnah dan Ijma' Ulama Menjelaskan Dimana Allah



Alhamdulillah.


Segala puji hanya milik Allah semata,

Ahlussunnah wal jama'ah telah berdalil tentang Ketinggian Allah ta'ala di atas makhluk-Nya Uluww ( Tinggi ) dengan Dzat-Nya dari Al-Qur'an, Hadits, Ijma' ( konsensus ), akal dan fitrah.


Pertama:

Dari Al-Qur'an berbagai macam bentuk dalil yang digunakan, kadangkala dengan menyebutkan kata "Uluww (Tinggi)" kadang dengan menyebutkan kata "fauqiyyah (Diatas)". terkadang juga menyebutkan Menurunkan sesuatu dari-Nya. Terkadang juga menyebutkan "Naik kepada-Nya", kadang pula "Diatas langit"


Kata "Uluww" seperti dalam firman-Nya;

( وهو العلي العظيم ) البقرة/٢٥٥


"Dan Dialah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung" Al-Baqarah : 255.


( سبح اسم ربك الأعلى ) الأعلى/١


"Sucikan nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi" Al-A'la: 1.


Kata "Fauqiyyah" dalam firman:


( وهو القاهر فوق عباده )  الأنعام/١٨


"Dan Dia Yang Maha berkuasa atas hamba-hamba-Nya" Al-An'am: 18.


( يخافون ربهم من فوقهم ويفعلون ما يؤمرون ) النحل/٥٠


"Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka) " An-Nahl: 50


Turunnya sesuatu dari-Nya, seperti firman-Nya:


(  يدبر الأمر من السماء إلى الأرض) السجدة/٥


"Mengatur urusan dari langit ke bumi" Sajadah: 5


( إنا نحن نزلنا الذكر ) الحجر/٩


"Sesungguhnya Kami ( Allah ) telah menurunkan Dzikro ( Al-Qur'an )" Al-Hijr: 9


Dan naiknya sesuatu kepada-Nya, seperti firman-Nnya:


( إليه يصعد الكلم الطيب والعمل الصالح يرفعه ) فاطر/١٠


"Naik kepada-Nya kalimat yang baik dan amal sholeh serta mengangkat-Nya" Fatir: 10.


Seperti juga:


( تعرج الملائكة والروح إليه ) المعارج/٤


"Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan" Al-Ma'arij: 4


Keberadaan-Nya di langit seperti dalam firman-Nya:


( ءأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض  ) الملك /١٦


"Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu" Al-Mulk: 16


Juga di di dalam dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah di Atas langit, bersemayam di atas Arsy dan Dia Maha Tinggi sekali.


( الله الذي خلق السموات والأرض وما بينهما في ستة أيام ثم استوى على العرش ما لكم من دونه من ولي ولا شفيع أفلا تتذكرون ) السجدة/ ٤


"Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Tidak ada bagi kamu selain dari pada-Nya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?" As-Sajadah: 4


Kemudian firman-Nya


( إن ربكم الله الذي خلق السموات والأرض في ستة أيام ثم استوى على العرش يدبر الأمر ) يونس/ ٣


"Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan". Yunus: 3


Ayat-ayat lain tentang  Allah bersemayam di atas Arsy dan Dia Maha Tinggi sekali juga bisa dilihat dalam Al-Qur’an; (Al-A'raf: 54), (Huud: 7), (Al-Furqan: 59), (Qaf: 38), (Al-Hadid: 4).


Kedua: 

Di dalam sunnah, telah ada dari Nabi sallallahu'alaihi wasallam secara mutawatir baik dari ucapan, perbuatan maupun ketetapannya.


Diantara yang ada dari ucapan Beliau sallaallahu'alihi wasallam menyebutkan uluw ( tinggi ) dan fauqiyyah ( atas ) adalah:


( سبحان ربي الأعلى )


"Maha suci Tuhanku yang Maha Tinggi" , setiap kali beliau ucapkan dalam sujudnya.


Juga tindakan beliau seperti mengangkat telunjuk ke langit ketika beliau khutbah nan agung di hadapan manusia, yaitu ketika hari Arofah dalam haji Wada', Beliau sallallahu'alaihi wasallam bersabda:


( ألا هل بلغت؟ )


" Ketahuilah, apakah telah kusampaikan?"


Mereka menjawab:


( نعم )


"Iya, sudah"


Ini beliau ulangi sampai tiga kali dan setiap kali beliau menanyakan hal ini mereka menjawab: "Iya, sudah"


Kemudian beliau berkata:


(  اللهم ! أشهد )


"Ya Allah, saksikanlah" sambil memberikan isyarat telunjuknya ke langit kemudian mengarah ke orang-orang. 


Diantaranya juga beliau mengangkat tangan ke langit ketika berdoa sebagaimana dalam puluhan hadits. Ini menetapkan akan ketinggian dengan perbuatan.


Dan ketetapan ( taqrir ) seperti dalam hadits Jariyah ketika Nabi sallallahu'alahi wasallam bertanya kepadanya:


(أين الله؟)


"Dimana Allah?" 


Dia menjawab:


(في السماء)


"Di langit". 


Kemudian bertanya lagi:


 ( من أنا؟ )


"Siapa aku?", 


Dia menjawab:


(رسول الله)


"Engkau utusan Allah". 


Kemudian Rasulullah sallallahu'alaihi wasallam berkata kepada tuannya: "Merdekakan dia, karena dia telah beriman"


Dia cuma sekedar budak tidak berpendidikan, masih budak belum merdeka tidak memiliki dirinya, dia tahu bahwa Tuhannya ada di langit. Sementara orang yang sesat dari bani Adam mengatakan Dia tidak ada di atas, tidak di bawah, tidak juga di kanan maupun kiri bahkan mereka mengatakan Dia (Tuhan) ada di mana-mana!!


Ketiga : dalil Ijma' (konsensus para ulama'). Para ulama' salaf telah bersepakat Allah dengan Dzat-Nya di langit. Sebagaimana yang dinukil oleh ahli ilmu seperti Dzahabi rohimahullah dalam kitabnya  (Al-Uluw LilAlyyil Goffar)


Keempat : sementara dalil akal, kami katakan bahwa uluw (tinggi) adalah sifat yang sempurna menurut kesepakatan orang yang berakal. Kalau itu sifat sempurna, seharusnya dimiliki Allah, karena semua sifat kesempurnaan mutlak hanya milik Allah semata. Maka ia adalah tetap milik Allah.


Kelima : sementara dalil fitrah, maka tidak ada satupun yang melawan dan mengingkarinya, karena setiap orang secara fitrah mengatakan Allah ada di langit. Oleh karena itu manakala ada sesuatau yang mengagetkan atau merisaukan yang dia tidak bisa melawannya, maka dia akan menggarahkan secara langsung kepada Allah. Karena hatinya secara otomatis menghadap ke langit tidak ke arah lainnya. Bahkan yang mengherankan orang-orang yang mengingkari akan sifat uluw (tinggi) untuk Allah di atas makhluk-Nya tidak mengangkat tangannya ketika berdoa kecuali mengarah ke langit.


Sampai Fir'aun musuh Allah, ketika berdebat dengan Nabi Musa tentang Tuhannya dia berkata kepada menterinya Haman:


( يا هامان ابن لي صرحاً لعلي ابلغ الأسباب) غافر/٣٦

(أسباب السماوات فأطلع إلى إله موسى) غافر/٣٧


"Wahai Haman, bangunkan untukku menara, siapa tahu saya bisa mencapai sebab. Sebab-sebab ke langit sehingga saya bisa melihat Tuhannya Musa".


Pada hakekatnya Fir'aun tahu dirinya bahwa Allah benar-benar ada, sebagaimana dalam firman-Nya: 


( وجحدوا بها واستيقنتها أنفسهم ظلما وعلوا ) النمل/١٤


"Mereka mengingkarinya, akan tetapi dirinya meyakin ( adanya Tuhan ) dalam kondisi dholim dan kesombongan". An-Naml: 14


Ini adalah dalil-dalil dari Al-Qur'an, hadits, Ijma', akal, fitrah bahkan dari ucapan orang kafir bahwa Allah ada di atas langit. 


Sumber:

https://islamqa.info/id/answers/992/dalil-tentang-allah-ada-diatas-makhluk-nya-dan-dia-suhbahanahu-wataala-di-atas-langit


Perkataan Ulama Empat Mazhab ttg Allah di atas langit:


1. Sikap Keras Abu Hanifah Terhadap Orang Yang Tidak Tahu Di Manakah Allah


Imam Abu Hanifah mengatakan dalam Fiqhul Akbar,


من انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر


“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.” [Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, hal. 116-117, Darus Salafiyah, Kuwait, cetakan pertama, 1406 H. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 137, Al Maktab Al Islamiy.]


Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar-, beliau berkata,


سألت أبا حنيفة عمن يقول لا أعرف ربي في السماء أو في الأرض فقال قد كفر لأن الله تعالى يقول الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق سمواته فقلت إنه يقول أقول على العرش استوى ولكن قال لا يدري العرش في السماء أو في الأرض قال إذا أنكر أنه في السماء فقد كفر رواها صاحب الفاروق بإسناد عن أبي بكر بن نصير بن يحيى عن الحكم


Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,


الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى


“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”.[QS. Thaha: 5.] Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.”[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, Adz Dzahabi, hal. 135-136, Maktab Adhwaus Salaf, Riyadh, cetakan pertama, 1995.]


2. Imam Malik bin Anas, Imam Darul Hijroh Meyakini Allah di Atas Langit


Dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal ketika membantah paham Jahmiyah, ia mengatakan bahwa Imam Ahmad mengatakan dari Syraih bin An Nu’man, dari Abdullah bin Nafi’, ia berkata bahwa Imam Malik bin Anas mengatakan,


الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء


“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 138.]


Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka berkata,


جاء رجل إلى مالك فقال يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استوى قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه الرحضاء يعني العرق وأطرق القوم فسري عن مالك وقال الكيف غير معقول والإستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة وإني أخاف أن تكون ضالا وأمر به فأخرج


“Suatu saat ada yang mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah Ta’ala berfirman,


الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى


“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”[QS. Thaha: 5.]. Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap tinggi)?” Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan sesuatu (artinya beliau marah) sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun naik dan orang tersebut pun terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata,


الكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالإِسْتِوَاءُ مِنْهُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَإِنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ ضَالاًّ


“Hakekat dari istiwa’ tidak mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui maknanya. Beriman terhadap sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai (hakekat) istiwa’ adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian orang tersebut diperintah untuk keluar.[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 378.]


Inilah perkataan yang shahih dari Imam Malik. Perkataan beliau sama dengan robi’ah yang pernah kami sebutkan. Itulah keyakinan Ahlus Sunnah.


3. Imam Asy Syafi’i -yang menjadi rujukan mayoritas kaum muslimin di Indonesia dalam masalah fiqih- meyakini Allah berada di atas langit


Syaikhul Islam berkata bahwa telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Kholil bin Abdullah Al Hafizh, beliau berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qosim bin ‘Alqomah Al Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah telah memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’i), beliau berkata,


القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر الاعتقاد


“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.[Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, hal. 123-124. Disebutkan pula dalam Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal.165]


4. Imam Ahmad bin Hambal Meyakini Allah bukan Di Mana-mana, namun di atas ‘Arsy-Nya


Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).”[Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 176. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 189.]


Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya,


ما معنى قوله وهو معكم أينما كنتم و ما يكون من نجوى ثلاثه الا هو رابعهم قال علمه عالم الغيب والشهاده علمه محيط بكل شيء شاهد علام الغيوب يعلم الغيب ربنا على العرش بلا حد ولا صفه وسع كرسيه السموات والأرض


“Apa makna firman Allah,


وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ


“Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada.”[QS. Al Hadiid: 4]


مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ


“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.”[QS. Al Mujadilah: 7]


Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghoib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun meliputi langit dan bumi.”


Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al Ghadadiy, beliau berkata,


قيل لأبي عبد الله احمد بن حنبل الله عز و جل فوق السمآء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان قال نعم على العرش و لايخلو منه مكان


Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 116]


Abu Bakr Al Atsrom mengatakan bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qoisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarok ketika ada yang bertanya padanya,


كيف نعرف ربنا


“Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb kami?” Ibnul Mubarok menjawab,


في السماء السابعة على عرشه


“Allah di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan,


هكذا هو عندنا


“Begitu juga keyakinan kami.”[Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 118]


Kami tutup tulisan berikut ini dengan menyampaikan perkataan Abu Nu’aim Al Ash-bahani, penulis kitab Al Hilyah. Beliau rahimahullah berkata, “Metode kami (dalam menetapkan sifat Allah) adalah jalan hidup orang yang mengikuti Al Kitab, As Sunnah dan ijma’ (konsensus para ulama). Di antara i’tiqod (keyakinan) yang dipegang oleh mereka (para ulama) bahwasanya hadits-hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan Allah berada di atas ‘Arsy dan mereka meyakini bahwa Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy-Nya. Mereka menetapkan hal ini tanpa melakukan takyif (menyatakan hakekat sifat tersebut), tanpa tamtsil (memisalkannya dengan makhluk) dan tanpa tasybih (menyerupakannya dengan makhluk). Allah sendiri terpisah dari makhluk dan makhluk pun terpisah dari Allah. Allah tidak mungkin menyatu dan bercampur dengan makhluk-Nya. Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya di langit sana dan bukan menetap di bumi ini bersama makhluk-Nya.”[Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 5/60, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.]


Kami memohon kepada Allah hidayah menuju kebenaran.