Berjabat Tangan Dengan Non - Mahram Menurut Mazhab Yang Empat
Pertanyaan
Saya
ingin jawaban rinci tentang hukum laki-laki berjabat tangan dengan wanita, dan
pandangan keempat imam dan jumhur ulama
tentang hal itu
Jawab
Pertama:
Laki-laki
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tidak diperbolehkan memegang tangan
wanita yang tidak halal baginya atau bukan salah satu mahramnya. Siapapun yang
melakukan itu telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri (berdosa).
Diriwayatkan
bahwa Ma'qil ibn Yassar berkata: Rasulullah ï·º bersabda: “Sesungguhnya salah seorang diantara kalian
jika ditusuk dengan jarum dari besi , itu lebih baik baginya daripada menyentuh
seorang wanita yang bukan mahramnya”
Diriwayatkan
oleh al-Tabaraani di dalam al-Kabir, 486. Syekh al-Albaani berkata dalam Sahih
al-Jaami', 5045, bahwa hadits ini adalah shahih.
Satu
hadits ini saja sudah cukup untuk mengingatkan (sebagai peringatan) dan supaya menaati Allah Subhanahu wa ta'ala, karena
mengandung makna bahwa menyentuh wanita (yang bukan mahram) dapat mengarah pada
fitnah dan maksiat.
Diriwayatkan
bahwa 'Aisyah istri Nabi ï·º, bertanya,
"Apabila para wanita yang beriman hijrah kepada Rasulullah ï·º, mereka selalu diuji sebagaimana dalam
firman Allah 'Azza wa Jalla: '(Hai nabi, apabila datang kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan 'janji setia, bahwa mereka
tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina …) ' (QS.
Mumtahanah: 12). 'Aisyah berkata, "Siapa yang memegang teguh janji-janji
tersebut dengan setia, berarti mereka lulus dari ujian, dan apabila mereka
telah mengikrarkan janji tersebut dengan ucapan mereka di hadapan Rasulullah ï·º, maka Rasulullah ï·º
bersabda kepada mereka, "Pergilah, sesungguhnya kalian telah berbaiat
kepadaku." Demi Allah, Rasulullah ï·º
tidak pernah memegang tangan seorang wanita pun, beliau membaiat mereka dengan
ucapan. Aisyah melanjutkan, "Demi Allah, Rasulullah ï·º tidak pernah mengambil sumpah kepada kaum wanita kecuali atas
apa yang diperintahkan oleh Allah, dan beliau tidak pernah menyentuh telapak
seorang wanita pun, apabila beliau membaiat mereka, beliau hanya mengucapkan,
"Sesungguhnya saya telah membaiat kalian."
[HR.
Muslim: 1866]
Dari
'Urwah, bahwa 'Aisyah telah mengabarkan kepadanya mengenai proses pembaiatan
terhadap kaum wanita, dia berkata, "Rasulullah ï·º
tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita manapun, beliau hanya mengambil
baiat dari mereka. Ketika mereka telah memberikan baiatnya kepada beliau, maka
beliau bersabda, "Pergilah, sungguh aku telah membaiat kamu."
[HR.
Muslim: 1866]
Beliau
adalah pribadi yang sempurna, yang terbaik dari umat manusia, pemimpin anak-anak
Adam 'Alaihissalam pada hari berbangkit, tidak menyentuh wanita. Padahal sumpah
setia pada awalnya diberikan dengan tangan. Jadi bagaimana dengan pria selain
Nabi ï·º?
Dari
Umaimah binti Ruqaiqah, ia berkata, Rasulullah ï·º
bersabda kepada: 'Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum wanita.'
HR.
an-Nasa’i (4181) dan Ibn Majah, 2874; dishahihkan oleh Syekh al-Albaani di dalam
Sahih al-Jami’, 2513.
Kedua:
Tidak
diperbolehkan berjabat tangan meskipun ada penghalang di antaranya, seperti
berjabat tangan dari balik lapisan pakaian dan sejenisnya. Riwayat hadits yang membolehkan
adalah dhaif (lemah)
Diriwayatkan
dari Ma’qal ibn Yassaar bahwa Nabi ï·º berjabat tangan dengan wanita dari balik lapisan pakaian.”
HR.
At-Tabaraani di dalam al-Awsat, 2855.
Al-Haythami
berkata:
Hadits
ini diriwayatkan oleh At-Tabaraani di dalam al-Kabir dan al-Awsat. Di dalam
sanadnya terdapat ‘Atab ibn Harb, yaitu periwayat yang dhaif (lemah).
Majma’
al-Zawaa’id, 6/39.
Wali
al-Din al-‘Iraqi berkata:
Perkataan
‘A’isyah radhiyallahu’anha, “beliau menerima baiat perempuan dengan ucapan saja”
berarti bahwa beliau melakukannya (menerima baiat) tanpa memegang tangan mereka
atau bersalaman dengan mereka. Ini menunjukkan bahwa bay'ah laki-laki diterima
dengan mengambil tangan mereka dan berjabat tangan dengan mereka, juga dengan
kata-kata, dan begitulah adanya. Yang 'Aiyhah radhiyallahu’anha sebutkan adalah
adat istiadat.
Beberapa
mufassir menyebutkan bahwa Nabi ï·º meminta bejana air
dan mencelupkan tangannya ke dalamnya, lalu para wanita mencelupkan tangan ke
dalamnya. Dan beberapa dari mereka mengatakan bahwa dia tidak berjabat tangan
dengan mereka dari balik lapisan penghalang dan memiliki jubah Qatar melapisi tangannya.
Dan dikatakan bahwa 'Umar radhiyallahu’anhu berjabat tangan dengan mereka atas
namanya. Tak satu pun dari riwayat ini yang shahih, juga yang terakhir, bagaimana
mungkin 'Umar radhiyallahu’anhu melakukan sesuatu yang Nabi ï·º, yang ma'sum (sempurna), tidak lakukan?
Tarh
al-Tathrib, 7/45
Syaikh
Ibn Baz rahimahullah berkata:
Pendapat
yang paling benar adalah bahwa hal ini (yaitu, berjabat tangan dengan wanita
dari balik pembatas) sama sekali tidak diperbolehkan, karena makna umum dari
hadits, ketika Nabi ï·º bersabda , "Saya
tidak berjabat tangan dengan wanita;" dan seterusnya adalah untuk
menangkal hal-hal yang dapat mengarah pada kemaksiatan.
(Disalin
dari Hashiyat Majmu’at Rasa’il fi’l-Hijab wa’l-Sufur, hlm. 69)
Ketiga:
Hukum yang sama berlaku untuk berjabat tangan dengan
wanita tua; ini juga haram karena makna umum dari teks tentang masalah ini. Riwayat
yang mengatakan diperbolehkan adalah dhaif (lemah).
Al-Zaila’i berkata:
“Adapun riwayat bahwa Abu Bakar biasa berjabat tangan
dengan wanita tua, itu juga gharib.”
(Nasab al-Rayah, 4/240)
Ibn Hajar berkata:
Aku tidak menemukan hadits ini.
(al-Dirayah fi Takhrij Ahadits al-Hidayah, 2/225)
Keempat:
Mengenai
pandangan imam yang empat, adalah sebagai
berikut:
1 – Mazhab Hanafi:
Ibn Nujaim berkata:
Tidak dibolehkan pria menyentuh wajah
atau tangan wanita walaupun tidak ada syahwat karena pada prinsipnya haram dan
tidak ada kondisi darurat yang membolehkannya
Al-Bahr al-Ra’iq, 8/219
2 – Mazhab Maliki:
Muhammad ibn Ahmad (‘Ulaisy) berkata:
Laki-laki tidak boleh menyentuh wajah atau tangan wanita non-mahram, dan tidak
boleh menyentuh wajah wanita tanpa pembatas. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengatakan: "Rasulullah
ï·º tidak pernah menerima baiat seorang wanita
dengan menyalami tangannya, beliau hanya mengambil baiat dari mereka dengan
ucapan saja.” Menurut riwayat lain, “Tangan beliau tidak pernah menyentuh
tangan seorang wanita, beliau hanya mengambil baiat dari mereka dengan ucapan
saja.”
(Manh al-Jalil Sharh Mukhtasar Khalil, 1/223)
3 – Mazhab Syafi’i:
An-Nawawi berkata:
Tidak diperbolehkan menyentuh wanita
dengan cara apapun.
Al-Majmu’, 4/515.
Wali al-Din al-‘Iraqi berkata:
Hal ini
menunjukkan bahwa tangan Nabi ï·º tidak
menyentuh tangan wanita mana pun selain istri dan budaknya, baik dalam hal
menerima baiat atau dalam kasus lain. Jika beliau ï·º tidak melakukan itu sedangkan beliau ï·º adalah maksum dan tanpa cela, maka lebih penting lagi bagi
orang lain untuk memperhatikan larangan ini. Telah diketahui dari riwayat bahwa
beliau ï·º menahan diri untuk tidak
melakukan itu karena haram baginya ï·º untuk melakukannya. Para fuqaha di antara sahabat kami dan yang
lainnya mengatakan bahwa adalah haram menyentuh wanita non-mahram meskipun itu
tidak menyentuh bagian tubuhnya yang bukan 'aurat, seperti wajahnya. Tetapi
mereka berbeda pendapat dalam memandang ketika tidak ada syahwat dan tidak ada
rasa takut (tidak terjerumus) pada fitnah. Larangan menyentuh lebih kuat dari
pada larangan memandang, dan haram bila tidak ada keadaan darurat yang
membolehkannya. Jika itu keadaan mendesak, misalnya berobat, mencabut gigi atau
mengobati mata, dan lain-lain, jika tidak ada wanita yang dapat melakukan itu,
maka hal itu boleh dilakukan oleh non-mahram karena itu adalah keadaan darurat.
Tarh al-Tathrib, 7/45, 46
4 – Mazhab
Hanbali:
Ibn Muflih berkata:
Abu ‘Abd-Allaah
– yaitu, Imam Ahmad – ditanya tentang seorang laki-laki yang berjabat tangan
dengan seorang wanita. Dia berkata, Tidak, dan dengan tegas mengatakan bahwa
itu haram. Saya berkata, bolehkah dia berjabat tangan dengannya (perempuan) dari
balik (dilapisi) pakaiannya? Dia berkata, Tidak.
Syaikh Taqiy
al-Din juga menyetujui bahwa memandang adalah dilarang, dan menjelaskan bahwa
menyentuh lebih serius daripada melihat
AlAdaab
al-Shar’iyyah, 2/257
Wallahu Ta’ala A’lam.
Diterjemahkan dari:Islamqa.info